Aladdin dan Jinny Seksi
Aladdin terkapar karena kerongkongannya telah kering. Tak setetes air pun bermain-main di tenggorokannya. Hanya ludah yang terus dia telan. Namun usaha itu musnah diiringi dengan mentalnya yang telah kepayahan. Hanya kematian yang diharapkan Aladdin. Dia pun jatuh pingsan di tengah padang pasir.
Matahari bersinar sangat terik seakan tak menginginkan kehidupan berada di padang pasir itu. Binatang melata pun enggan untuk ke luar permukaan bumi dan lebih memilih untuk bersembunyi di dalam pasir. Mereka tak mau badan mereka tersengat oleh jahatnya matahari yang tak pernah mau kompromi dengan siapa saja. Tak ada aroma kehidupan di sana. Aladdin telah satu jam terkapar tanpa seorang pun yang menolong.
Angin berembus menerbangkan butiran-butiran pasir berwarna coklat. Meliuk-liuk seperti seorang penari padang pasir yang sedang menghibur raja-raja Arab. Para musafir yang biasanya berkelana juga tak tampak. Mereka bisa jadi sedang menunda perjalanan karena menganggap hari tak bersahabat. Aladdin masih teronggok diterpa oleh putaran angin bercampur pasir berkilauan.
Tiba-tiba tangan Aladdin bergerak-gerak seakan ingin kembali menantang alam. Belum sepenuhnya tersadar, dia mengerjap-ngerjapkan matanya berharap otaknya mulai berjalan. Dia lalu menyadari bahwa kini berada di padang pasir. Tangannya meraih-raih dan menepuk-nepuk pasir yang dikiranya sebuah kasur empuk. Sialnya, lamunan tetap lamunan dan kasur itu tak pernah ada. Padang pasirlah yang dia dapatkan.
Tangannya merasakan sebuah benda. Berasa dingin, dia menyentuh ujung benda tersebut yang berlubang. Diurut jemarinya dan menjelajahi lekukan, dia pun mencermati bahwa sebuah teko sedang dipegangnya. Aladdin kemudian bangun dan segera mengamati barang temuannya. Teko emas.
Asap membumbung dari moncong teko saat Aladdin menggosoknya dengan lembut. Terdengar suara seseorang tertawa nyaring dan menggema. Ternyata jin perempuan muncul di hadapan Aladdin dengan ukuran yang sepuluh kali tubuh manusia. Mukanya ditutupi selembar kain, pakaiannya khas perempuan Timur Tengah, dan dari sorot matanya menampilkan rasa persahabatan. Aladdin pun bertanya kepada jin tersebut.
“Si ... si ... siapakah kamu?”
“Jinny. Panggil saja aku Ninny. Itu panggilan kesayanganku.”
“Bagaimana kau bisa ada di dalam teko?”
“Aku kena kutukan ibuku seribu lima ratus tahun yang lalu. Saat aku hendak dijodohkan, aku menolak tawaran orangtuaku.” Suara jin perempuan itu melembut seakan menunjukkan rasa penyesalannya. “Aku berniat minggat dari rumah. Namun belum sempat aku keluar dari ambang pintu, ibuku terlanjur emosi karena malu dengan tetangga-tetangga.”
“Lalu kenapa kau bisa keluar dari teko ini?”
“Barang siapa menemukan teko yang berisi diriku dan menggosoknya dengan lembut maka aku akan terbebas dari kutukan. Akan tetapi aku sudah berwujud jin. Ya tidak masalah, yang penting aku bebas.”
“Sungguh malang kau, Ninny.”
“Oya, namamu siapa Anak Muda Ganteng?” tanya Jinny.
“Aku Aladdin. Dan aku hendak pergi ke Mesir menemui kekasihku. Tapi aku tersesat.”
“Oh ... karena kebaikan hatimu, aku dapat mengabulkan tiga permintaanmu. Bebas apa saja.” Tawar Jinny.
“Mmm ... apa ya. Aku masih bingung.”
“Baiklah aku kasih masukan. Bagaimana kalau pilihan-pilihan ini. Satu, kuantarkan kamu ke Mesir dengan menggunakan karpet ajaib. Dua, kubangunkan istana megah beserta isinya. Ketiga, kau menikah denganku. Bagaimana setuju tidak?”
“Ah aku tak mau, Ninny. Aku ingin menempuh hidupku tanpa bantuan orang lain. Sudahlah kau masuk saja kembali ke dalam teko emas. Selamat tinggal Jinny.”
Aladdin melemparkan teko emas dan berjalan kembali menyusuri padang pasir. Jinny pun masuk kembali ke dalam teko emas. Dan cerita seribu satu malam masih terus berlanjut.
Post a Comment