Negro in NY
Panggung mewah dengan latar bertuliskan “Peace for our kids” menjadi pusat perhatian mereka. Tepukan membahana saat seorang pembawa acara memulai membuka acara. Ada teriakan histeris dari ujung kiri panggung, sepertinya suara seorang gadis. Ya, mungkin saja dia ingin melampiaskan kekesalan atas penderitaan sahabat-sahabatnya di medan pertempuran. Lalu hadirlah satu grup musik, semuanya orang kulit hitam.
Tak ada teriakan rasis ataupun teriakan mencela, semua penonton menanti aksi panggung para artis kulit hitam di atas panggung. Sebuah kemajuan dunia di satu sisi, itu pun kecil sekali, namun bila kita bandingkan dengan keadaaan sesungguhnya alangkah indah momen ini di tengah krisis dunia. Tapi tak apalah, toh semua berawal dari hal kecil baru menjadi raksasa.
Seorang personel di belakang drum, mulai beraksi dengan pukulannya yang menghentak. Sontak semua penonton mulai bergoyang, sambil menepuk-nepukkan tangan mereka di atas kepala. Diikuti bunyi saksofon, keyboard, juga gitar, musik sesungguhnya telah diperdengarkan. Suasana pun makin bergairah. Melepaskan kepenatan hidup untuk sementara sembari mengajak penonton di ujung dunia lain bersimpati terhadap kondisi bumi; peperangan, kemiskinan, kesewenang-wenangan yang dipertontonkan segelintir orang, pendidikan yang diskriminatif, keculasan berpikir para wakil rakyat, atau apa pun yang berbau ketidakadilan. Mengajak untuk bersama-sama membangun dunia yang lebih adil.
Kumpulan negro kali ini menjadi pusat perhatian. Bukan lagi sebagai budak belian yang beberapa abad lalu dilakukan oleh bangsa kulit putih. Kini sekumpulan orang kulit hitam mempertunjukkan kemampuan seni yang di dalamnya masih diselipkan aroma penolakan atas sistem pemisahan sosial, pelontaran kemanusiaan, dan kesentaraan dalam segala hal. Menolak kata “negro” dari muka bumi. Dan sekarang tak ada lagi perbedaan kulit. Yang ada adalah perbedaan kemampuan untuk maju. Barang siapa mau maju, maka dialah yang mendapat kebaikan di dunia ini.
Post a Comment