Header Ads

Catatan Perjalananku: Capetown, Afrika Selatan

Masa apartheid telah berlalu. Peleburan warga kulit hitam dan putih mulai dilakukan. Masih ada sisa ketidakpercayaan dan bayangan kelam di antara kami. Namun kami mencoba melaluinya dengan hati yang terbuka. Warga Capetown mencoba mengukir hari baru dengan wajah baru. Tak ada lagi batasan di antara kami. Tak ada tembok pemisah yang dulu membuat kami berbeda. Sekarang kami harus memaksa diri untuk membaur dan membuat melodi indah bernama kebersamaan.

Kami keluarga George, berkulit putih, bertetangga dengan keluarga Zambiya, berkulit hitam. Sejak dulu kami tak pernah menaruh curiga barang secuil pun. Politik negeri tak pernah membuat kami saling mengotakkan diri. Hanya para elit saja, khususnya orang kulit putih, yang selalu membuat ulah dengan membuat kebijakan pemisahan kulit. Mereka menanamkan benih penjajahan dan mencoba menghasut warga kulit putih untuk memusuhi saudara mereka yang berkulit hitam. Hingga muncullah sosok lelaki perkasa dengan pola pikirnya yang sangat jernih dan bersahabat. Kami mengenal dia dengan sebutan “pahlawan”. Dialah Nelson Mandella. Walaupun kami, keluarga George, berkulit putih, kami lebih cenderung mengikuti pola pikir Nelson. Bukan dengan pemerintahan apartheid. Beruntung masa pedih itu telah berlalu. Dan kami sekarang telah membaur di bawah pimpinan Nelson Mandella. Pahlawan kami. Saudara yang menyatukan darah kami. Tak ada lagi batasan apapun. Semua berhak atas pendidikan, kesehatan, pekerjaan. Dan tak melihat warna kulit apapun. Semua sama. Beruntung kami mempunyai Nelson Mandella. Semoga dia selalu sehat dalam naungan kasih.

 

Tidak ada komentar