Header Ads

Ayat-ayat Mbok Jamu Gendong

Seorang perempuan sedang menggendong keranjang berisi botol-botol berisi air. Jalannya lenggak-lenggok, sedap dipandang. Wajahnya sumringah, tak kulihat kerut di sana. Sungguh mulus dan menawarkan senyum yang istimewa.

            Apa yang dibawa di tangan kanannya? Oh, sebuah ember kecil berisi air juga. Selendang melilit tubuhnya, warnany merah menyala. Aku masih terkesan dengan cara berjalannya yang lemah gemulai.

            “Jamu ... jamune, Mas ....”

            Kata apa yang sedang diucapkan perempuan itu? Jamu? Aku baru mendengarnya. Aku makin penasaran dengan perempuan berpakaian kebaya itu. Dia tak mengenakan rok layaknya perempuan zaman sekarang. Tapi semacam kain yang dilukis aneka bentuk yang tak kukenali. Aku pun memutuskan untuk mendekat perempuan penuh senyum itu.

            Tunggu ... seorang lelaki menghampiri perempuan itu. Aku tak jadi mendekat. Aku tahan dulu keinginanku untuk menjumpainya. Aku lihat keranjang di punggung perempuan itu diturunkan, didahului dengan mengendurkan tali selandang di dadanya. Keranjang itu telah berada di permukaan tanah. Kini aku melihat botol-botol berisi air warna-warni. Ada kuning, hijau, hitam, dan cokelat. Mataku beralih perhatian ke arah botol-botol itu. Makin penasaran aku dibuatnya. Siapa perempuan itu? Apa yang akan dilakukan kepada lelaki yang kini menghampirinya?

            “Mau minum apa, Mas?”

            “Pahitan saja, Mbak.” Jawab si lelaki.

            Ternyata perempuan itu menjual air minum warna-warni yang disebutnya sebagai jamu. Melepaskan tutup botol, penjual jamu itu mengangkat botol dan menunggingkannya. Air warna hitam itu mengisi gelas yang berada di tangan kiri penjual jamu. Tak sampai penuh. Lelaki itu menerima gelas berisi jamu diiringi ucapan terima kasih. Aku melihat lelaki itu minum, seteguk dua teguk, jakun di lehernya bergerak turun-naik. Mata lelaki itu terlihat agak janggal, sepertinya dia merasa kepahitan. Tapi anehnya dia terus saja meneguk minuman itu. Tuntas sampai tetesan terakhir. Dia kemudian memajukan gelas kosong itu kepada penjual jamu. Ada keanehan lain. Penjual jamu menambahkan minuman dari botol lain, tapi yang ini berwarna kuning menyala. Tak sepenuh gelas yang pertama, hanya separuh. Lelaki itu lalu langsung meminumnya. Kali ini wajah lelaki itu merekah, menandakan bahwa dia menikmati minuman terakhir.

            “Berapa, Mbak?”

            “Cuma seribu perak, Mas.” Jawab si penjual jamu ramah. “Terima kasih, Mas. Semoga bermanfaat jamu buatan saya.”

            “Terima kasih kembali, Mbak.”

            Pemandangan menarik dan baru kali ini aku nikmati. Aku merasakan getaran lain saat melihat transaksi jual beli antara si lelaki dan penjual jamu. Tak pernah kutemukan sepanjang hidupku. Sedari kecil, aku telah terbiasa membeli minuman kaleng di pasar swalayan. Aku hanya tahu minuman isotonik, penyegar instan, dan aneka minuman praktis lainnya. Dan minuman jamu baru kudengar sekarang. Ingin aku mencobanya, tapi di tangan kiriku masih bertengger minuman isotonik asli negeri sakura. Barang kali besok aku bertemu kembali dengan si penjual jamu. Aku akan mencoba salah satu dari botol di punggung si perempuan manis itu.

            Aku merelakan kepergian mbak penjual jamu itu. Semoga bertemu esok hari.

 

 

 

Tidak ada komentar