Header Ads

Yogya Kembali Tanpa Identitas

    Yogya, aku sengaja tidak memelesetkan nama kota ini. Tidak seperti tulisanku yang selalu mengganti-ganti nama kota, negara, tokoh, agar tidak terkena pasal subversif, namun kali ini aku terang-terangan memakai kata YOGYA. Ini semua karena rasa cintaku yang begitu mendalam kepada kota kedua yang kuanggap sebagai kota kelahiranku. Yogya, ya Yogya. Kota yang temaram, disindir dengan kevirginitasnya yang diragukan, dengan warung remang-remang penyuguh nasi kucing, dan bisnis kelam yang sungguh santun, tak nampak dari pandangan orang awam. Yogya, kota yang kucintai, sekarang melaju pesat menjadi kota metropolitan. Dengan cakupan kekuasaan yang hanya beberapa hektar, coba kita bandingkan dengan kota lain, Yogya seolah mencari jati dirinya.
   Belum tuntas dengan kegamangan kota ini karena menjadikan salah satu universitasnya menjadi Badan Hukum, kali ini aku tersentak dengan jajaran toko warna-warni penuh glamoritas. Pertama kali aku menginjakkan kaki merasakan keperawanan kota ini; keluguannya, senyumnya, dan keramahannya. Dan, sekarang kota ini telah menjadi perawan yang agresif. Kali ini bukan senyuman yang kudapat, melainkan tertawaan yang tanpa menutup mulutnya. Dulu aku merasakan keramahan penduduknya, sekarang banyak pendatang angkuh dengan motornya, dandanannya, wangi tubuhnya, dan aneka perhiasan di tubuhnya. Yogya telah berubah menjadi kota yang memprihatinkan.
   Satu lagi yang menjadi pertanyaanku: Trans Jogja. Aku merasa ini sebuah kegagapan masyarakat Jawa yang seakan membabi buta menjadikan kota saudaranya sebagai cermin. Baiklah, sungguh tepat apabila alasan memperlancar transportasi yang dikemukakan, tapi ini nama bus kenapa sama dengan Trans-trans yang lain. Mengapa tidak mengambilnya dari jati diri Jawa? Entah Bus Slamet, Mangga Bus, atau apalah?
    Tapi bagaimanapun Yogya adalah kota yang teramat aku cintai. Aku merasa Yogya kali ini memanggilku, melambaikan tangannya, dan berharap aku kembali belajar di sana. Cepat atau lambat, aku akan kembali ke sana, mengukir hari dengan cinta baru. Menuliskan torehan tinta manis.
    Yogya, aku rela menerimamu apa adanya. Maukah kau tetap menjadi sahabatku? Walaupun aku mengkritisimu?
Semoga kau tidak marah kepadaku.

 

3 komentar:

  1. Mmmm ... parah deh tulisannya.
    Alur yang ga jelas dan amat emosional.
    Mohon diedit, ya!
    Kurang data-data, jadi kebenaran tulisan ini diragukan.

    BalasHapus
  2. iya..yogya nggak seperti yang dulu....................memprihatinkan.....ya

    BalasHapus
  3. protes ama sultan berani ga ya?
    ntar kena kutukan je hehehehe
    kayaknya sultan ga gitu deh

    BalasHapus