Header Ads

Terima Kasih buatmu TIKA

Tulisan ini aku persembahkan kepada TIKA yang telah dengan baik hati menerimaku sebagai anak didik. Tak ada prasangka buruk (lagi) ketika sebentar lagi dengan sangat menyesal aku berhenti –entah apa namanya, mungkin lebih tepatnya diberhentikan dengan sedikit hormat- dari pekerjaan ini. Semua kujadikan masukan untuk mengarungi bahtera pengabdian yang lebih baik. Menuju tanggal 20 Desember 2006......


 


Selepas Sholat Isya...


 


Doa terjawab tidak hanya melalui ejawantahan yang “sangat” mirip dengan latunan mulut memuja Pemberi Rahmat. Tanpa kita sadari jawaban Tuhan diberikan melalui keputusan yang sangat menyesakkan hati.


 


Berada dalam lingkaran kedustaan tak ubahnya seperti bermain dalam sandiwara yang monoton. Seorang aktor selalu dituntut memerankan sebuah tokoh kehidupan dengan pendekatan alami, seakan merasa muak dengan segala kepalsuannya. Pada awalnya nyanyian gamang sering diucapkan dengan kedok manis nan mantap. Di tengah plot ia mulai merasakan kepenatan yang menggelayuti sukma dan raga. Saat itu keterluntaan akibat tumpukan emosi mulai muncul ke permukaan.


 


Ia sandarkan kepala di dinding, merebahkan tubuh di sofa empuk untuk meregangkan otot-otot syaraf yang mulai tertarik dari temalinya. Capek, gundah namun kenyataan harus mendidiknya untuk menerima semua kenyataan. Orang modern menyebutnya “Dreams are in the space, but your body is always in an earth”.


 


Gelayutan fikiran selalu mendera menghabiskan energi yang semestinya layak dikonsumsikan untuk urusan yang lebih berharga. Sayatan-sayatan pisau nan tajam telah begitu menempa hingga (kadang) sumpah serapah terdesak ke luar dari kerongkongannya.


 


Pasrah kupanjatkan setelah berjuang menyeberangi sungai berolak. Jangkauan imaji, yang terisi dengan baik, sebenarnya berada di seberang. Namun kaki sempat beraksi mundur menolak pendapat otak. Akhirnya hati menengahi perbedaan itu dengan amat dewasa untuk mencarikan alat sebagai bekal dalam pencapaian tujuan.


 


Ruang lama (masih) dengan terbuka menerima keberadaan raga ini. Sungguh semua anggota tubuh mulai berpendapat dengan masing-masing argumen. Mata sebagai organ paling jahat, bagaimana tidak karena semua “keindahan” dunia terlihatkan olehnya, melirik kecut dengan suatu tawaran hangat. Tak kalah sengitnya adalah perut yang mendeklarasikan kemarahannya dengan keinginan memuntahkan segala makanan yang bertandang ke wilayah kekuasaannya.


 


Perilaku santun masih terlihat berlaku bagi organ hati yang berlaku sebagai tandon pengharapan penerimaan cahaya kebajikan Tuhan. Kebesaran hati untuk menawarkan rasa dari sampah kehidupan mendapat dukungan dari separuh belahan otak sebelah kiri yang condong menyetujui pernyataan sang kalbu. Sedangkan belahan lain mulai menghasut yang selanjutnya disebut sebagai amarah.


 


Perdebatan sengit berlangsung dalam himpitan waktu yang sangat dimampatkan oleh berbagai beban tambahan yang semakin mendorong-dorong agar nantinya menjadi awalan kembali. Seperti mesin yang kelak aus karena terlalu seringnya digunakan, ternyata perjalanan hidup mesti diselingi rehat untuk sekedar mengisi gas bakar. Dengan sedikit pengorbanan, ditambah dengan keinginan belajar untuk menjadi insan tulus, hati yang selalu membisikkan ketenangan hidup mendapatkan pasokan nutrisi yang akan memberi bagaimana strategi mendamaikan seluruh bagian tubuh.


 


Asupan agama mulai dijejalkan ke dalam mulut, dengan harapan masuk ke hati, bagaikan air terjun yang menggerus keangkuhan batu pemikiran. Guyuran dengan volume besar dan berkecepatan tinggi sedikit banyak membantu dalam pengurangan kepenatan. Tapi pemilihan penawar ini harus ekstra hati-hati, jangan sampai kelajuannya bak seekor celeng yang berlari tanpa memperhatikan kanan dan kiri jalan.


 


Pengetahuan juga membantu memperluas cara pandang dalam pengarungan samudera ke depan, pelebaran sayap ini terjadi begitu tiba-tiba, tanpa pemikiran yang sungguh dalam, dan dalam rentangan mulai menemukan kesadaran akan berpendidikan yang lebih tertata. Perlahan tapi pasti cahaya mulai masuk melalui optik, kemudian mengendap sebentar ke syaraf mata halus menuju otak. Otak menerjemahkannya menjadi bayangan indah yang masih kabur sehingga dibutuhkan perenungan yang agak lama.


 


Sirkulasi darah dalam otak yang telah kacau, maka dengan adanya latihan pengelepusan borok-borok keangkuhan mulai tertata kinerjanya. Sejalan dengan pelajaran kesabaran, proses pemulihan rasa sakit di sebagian tubuh mulai hilang seperti perempuan yang berkibar helaian rambutnya oleh sang bayu.


 


Loncatan kemajuan didukung oleh pemeran pembantu di luar daerah pergerakan tak pelak mampu memberikan dorongan motivasi yang sangat aduhai. Meningkatkan semangat untuk berbuat baik lebih terpacu, walaupun perhatian sahabat tidak berupa kebendaan. Dalam suatu kesempatan diperoleh suatu masukan bahwa keinginan menjadi baik tidak harus didasari oleh megahnya istana pemula kehidupan. Akan tetapi tempaan hidup yang dilandasi oleh kebesaran hati, ketulusan dan percikan semangat –menuju kobaran- sudah cukup sebagai modal melangkah. Cemoohan yang oleh beberapa orang belum terdewasakan sebelumnya dianggap sebagai penyurut lampu, olehnya dibalik menjadi penyusut dosa dan pemetik api.


 


Tak lupa peranan pengasuh abadi, ayah dan bunda, dari kejauhan dengan giat mengirim serangkaian doa pemermudah keberkahan. Doa laksana olesan minyak yang sangat dibutuhkan gerendel pintu agar tidak berderit oleh karat. Puja-puji terpanjatkan dari mulut bertuah merayu Sang Khalik untuk melancarkan perjuangan ananda. Akan tetapi biasanya langkah sang anak seakan tak sadar didorong kekuatan gaib oleh tindakan mulia dari orang tua ini. Menjadi jelas sekarang tentang kebenaran petuah bangsa nan bijak yang menyebutkan bahwa, “ Kasih Ibu –di mana posisi Ayah?-sepanjang jalan, kasih anak sepenggalan saja”.


 


Waktu berjalan dengan begitu cepat tatkala goncangan dan ujian sudah dianggap sebagai laluan hidup. Jiwa ini sudah dipersiapkan dengan amat rela menerima “pemboikotan karakter” untuk tidak berkecimpungan di dunia penuh intrik ini. Sangat sadar memang ini sebuah karma akan perbuatan yang mungkin salah dalam kacamata pemikiran mereka. Tapi semua ini sudah menjadi keyakinan sebagai suatu pilihan dengan segala akibatnya. Tak ada lagi penyesalan telah menjadi bagian dari sebuah bagian keluarga besar ini.


 


Mungkin Tuhan memberikan jalan terbaik untuk tidak larut dalam kesedihan walaupun masih kabur jalan apa yang akan kutempuh. Namun satu keyakinanku, Tuhan (masih) ada di sampingku. Perlahan pasti ada penjelasan kepada orang tua dengan cara yang bersahaja sehingga tidak menjadi beban kepada semua pihak. Semua telah terjadi dan layarpun mulai terkembang dengan sangat gagahnya. Semoga menjadi modal menuju keberhasilan hidup.


 


Sebuah perjuangan menggapai hidup masih berlanjut....


 


Dengan segala hormat, kusampaikan penghargaan setinggi-tingginya untuk temanku, Tika.


 


 

Tidak ada komentar