Header Ads

Sebuah Refleksi di Malam “Indah”

Sabtu Malam, 02 Desember 2006, aku merenung....


 


Kuhela nafas berusaha melepaskan sedikit rasa tak nyamanku; panjang, dalam dan tertahan, kemudian aku lepaskan dengan rintihan hati yang mengiringinya. Ujian bertubi-tubi masih terus diberikan kepadaku dengan (sisa) tambahan permasalahan yang belum teruraikan. Seakan terasa penuh sesak otak ini dengan jejalan berbagai peristiwa yang menuntut pelan-pelan tapi pasti untuk diselesaikan.


 


Kembali sebentar ke belakang sebagai bahan renungan, belum juga kilatan-kilatan memori nan sentimental masih –kadangkala- bertamu dalam bentuk lamunan, tembok itu muncul secara tiba-tiba bergerak dari dalam tanah sehingga kecut hati ketika terjuntai rajutan kawat berduri melilit penghalang tersebut.


 


Bukankah teman telah berkata jikalau kita berfikir terlalu ke belakang akan menjadikan kita apatis dengan segala kegalauannya? Jangan jadikan pengalaman pahit sekalipun sebagai alasan bermalas-malasan untuk meniti masa depan. Walaupun pahit dan getir maka berbuatlah seakan-akan kemujuran akan berpihak kepada kita di kemudian hari. Aku berdoa semoga kenangan masa lalu menjadikan aku lebih dewasa menyikapi hidup.


 


Belum tepat goncangan itu dialamatkan kepadaku, sekarang aku mendapatkan ujian yang dengan kapasitas yang lumayan untuk ukuran anak kecil sepertiku. Kecil karena kadang aku merasa kecil dibuatnya, kecil karena volumenya relatif lebih kecil –semoga saja. Di saat badanku belum tegar berdiri, kondisi yang gontai mendapat dorongan angin hingga tersungkur ke dalam jurang yang –tidak begitu- dalam.


 


Ini bagaikan seorang sopir angkutan umum dengan paksa menurunkan salah satu penumpangnya –ialah aku, disungkurkannya ketika aku sedang asyik-asyiknya mendengarkan musik R & B melalui alat pemutar MP3. Musik melenakan yang tadinya aku nikmati menjadi gumpalan kapas yang menutupi gendang telingaku secara permanen, yang tadinya drum menjadi hentakan kondektur mendorongku hingga jatuh ke perosokan.


 


Aku duduk termenung, mengerang kesakitan namun berfikir sejenak mengapa hal ini bisa terjadi. Penumpang lain juga khawatir dengan kejadian ini, takut mereka juga mengalami hal yang sama. Pertama aku berfikir apakah uang jalan kurang saat aku mengulurkannya? Ataukah aku berteriak-teriak –menirukan penyanyi- ketika itu? Macam-macam pertanyaan terlontar dari mulut lugu nan berbisa ini. Sampai pada suatu kesimpulan awal bahwa kejadian ini adalah upaya sopir untuk menunjukkan kepadaku bahwa jalur yang aku ikuti salah. Mungkin mereka sudah berteriak memanggil-manggilku, namun telingaku tertutupi penyumpal. Jalan yang aku ikuti menuju rumahku telah menuju kuburan.


 


Linglung, cemas dan merasa kecil.....perasaan semua orang memusuhiku, menyalahkanku dan memojokkanku bercampur jadi satu. Segera kusingkapkan fikiran jahat itu karena tak ingin pemain-pemain kotor memasuki jiwaku. Jika Tuhan memberikan pilihan, janganlah aku dijadikan seperti keledai namun aku ingin menjadi seekor lebah yang menari-nari indah.


 


Untuk sementara aku memutuskan: TETAP TABAH MENJALANI HIDUP


Sabar dan ikhlas sembari berusaha adalah jalan tengah yang mutlak dilakukan, tanpa itu hidup akan sia-sia. Disertai dengan keyakinan memperoleh yang terbaik, aku yakin semua pasti terbuka jalanku...Semoga


 


Tetap berjuang demi keluarga


 

Tidak ada komentar