Header Ads

Resign: Cerita Satir Pekerja Seni


Hai, para pekerja yang dikecewakan oleh yang mempekerjakan. Aku punya cerita nih...Silahkan menyimak!
Sebuah pepatah Jawa: "Ngidu di eleg maneh, amarga idune isih krasa enak", dalam bahasa Nusantara diterjemahkan Menelan ludah kembali tatkala rasa liur itu masih tersisa, bisa saja berlaku pada semua orang. Apalagi kalau dia baru makan masakan enak nan gratis (Detty banget, Doranth juga ding), niscaya ludah akan dengan setia menyihir lidah untuk tidak menjadi sudahlah.
Ingatanku tertuju kepada kalimat itu dikarenakan ada hubungannya dengan cerita dari kolegaku, saat ini bekerja di sebuah PT. S 3 XY, yang beberapa hari lagi akan mengundurkan diri dengan alasan hamil. Aku ga tahu siapa ayah dari bayi yang dikandung dan aku berani bersumpah bahwa aku bukan ayahnya.
Ada gerangan apa dengan kolegaku itu?
Sebentar kita luapkan saja penilaian objektif ataupun subjektif, ga ada penghakiman terhadap perusahaan maupun pembelaan yang membabi buta terhadap kasus temanku. Semua biarkan mengalir dan anggap tulisan ini sebagai wahana menyambung lidah rakyat (Bung Karno, we love you!!).
Sebut saja Gadis dan dia berumur 28 tahun, sebuah umur yang lumayan membuat jantung berdebar jika tak mau dianggap perawan kasep, mempunyai aktivitas yang padat karya namun lembek pengharapan. Selepas kuliah yang diselesaikannya selama 6 tahun, itupun dengan indeks prestasi standar banget, dia melakukan pencarian kerja yang tak kenal lelah dengan peluh bercucuran. Sangat persis dengan lantunan lagu Ebiet G. Ade, “Dari pintu ke pintu...”, dia mencari peluang dan sepertinya waktu belum berpihak kepadanya. Nihil!
Sedih, kecewa namun juga terbersit kepuasan dan rasa bangga meraih kejayaan dengan perjuangan yang walau pahit namun akan berbuah manis. Sebagai pelepas penat kadang dia merenung dalam doanya semoga kelak terbuka pintu rezeki. Tapi tak ayal fikiran kalut selalu berdesingan di otak, karena kisaran usia untuk menikah hampir terlampaui dan juga gunjingan tetangga semakin memerahkan telinga.
Setelah berjuang dengan gegap gempita, akhirnya hari baik itu tiba juga. Dia diterima bekerja di sebuah perusahaan yang mengkhususkan diri menjual alat-alat KB, perusahaan Kontrasepsi. Awalnya ragu juga ketika tawaran itu datang, apakah diterima namun dengan perasaan malu-malu kucing atau melepaskannya dan tetap menganggur. Keraguan itu tertepis setelah berdiskusi dengan teman-temannya bahwa apabila kita ingin mendapatkan beasiswa sekolah ke Negara Timor Leste, misalnya, maka kita harus mendekatinya dengan persiapan kursus minimal bahasa Portugis (pakai bahasa penjajah saja bangga Mr. Xanana!). Dan jika pengin menikah, dekatilah alat kontrasepsi sehingga otak kita selalu berfikir itu terus......
Hari berganti minggu, minggu meluncur mencapai tahun. Kegiatan bekerja yang sangat monoton menenggelamkannya dalam kesibukan tanpa ujung. Belum lagi kisah percintaannya selalu kandas dengan alasan ego lah..sang lelaki kurang sesuai lah...apa yang bisa terucap maka itulah keputusan.
Seperti kisah Romeo dan Juliet yang penuh intrik dan cucuran air mata, kisah pertautan si Gadis mencari perjaka –dapat duda juga ga nolak- menerbitkan titik terang (tanpa akhiran –sang, kalau sang terang mending weeeeek).
“Titik itu sudah jelas, terang dan berkilauan di hatiku. Aku rasa inilah pasangan jiwaku yang selama ini bergentayangan di jagad kegaiban”, bisik lirih sang gadis.
Tak lain dan tak bukan sang jejaka yang bernama Macho, menanggapi serius dan berani memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih jauh. Yaitu menikah. Hati perempuan mana yang tidak akan tersayat, namun keenakan, jika pujaan hatinya telah memutuskan mau melakukan usaha “zina halal” ini. Ya, menikahlah mereka dan si gadis berkehendak untuk mengikuti suami.
Ilmu di bangku perkuliahan yang selama ini menjadi penopang hidup si gadis tiba-tiba roboh dan kelak tak akan pernah lagi digunakan. Sia-siakah ilmu yang didpat? O, tentu tidak. Bagaimanapun ilmu dia begitu berguna bagi kehidupan rumah tangganya.
Contohnya: Jika dia pernah kuliah di jurusan teknik sipil, maka praktikum membuat beton dengan campuran kerikil dan semen bisa sangat bermanfaat. Semen diibaratkan cairan sperma sang lelaki, rahim si gadis dianalogikan sebagai cetakan beton. Sedangkan kerikil adalah ovum si gadis. Dengan takaran yang sesuai maka akan dihasilkan beton dalam hal ini zigot yang berkualitas. Dari zigot ini –apabila dijaga dan diberi nutrisi yang baik- akan menjadi jabang bayi yang prima.
Pesta pernikahan berlangsung dengan lancar dan hikmad, prosesi akad nikah agak menegangkan namun masih mencapai target yang ingin dicapai yaitu keihklasan. Malam pertama tidak akan dibahas, karena hanya mereka yang tahu. Tentang gaya bercinta mereka ataupun trik-trik pemuas berahi telah mereka dapatkan dari tuturan sebuah buku pedoman seks Jawa Klasik, Serat Centhini. Dahsyat!
Kembali ke topik awal,
Beberapa bulan setelah hidup bersama, si gadis yang telah ternoda ingin mendampingi suami secara total –bisa diartikan penghambaan kepada suami- dan penuh dengan pemaknaan hidup. Dia ingin resign.....Kata resign untuk sebagian pekerja adalah sangat ngeri (termasuk penulis). Namun si gadis memantapkan pilihannya untuk meninggalkan pekerjaan sebagai “pemberi konsultasi waktu yang tepat memakai alat kontrasepsi”.
Pergulatan batin, kekhawatiran berpisah dengan teman lamanya adalah sebuah realita yang tidak akan dengan mudah dilewatinya. Berbagai kenangan manis, pahit dan bahkan yang menusuk tulang pinggul (goyang mang!) sudah dilalui si gadis dengan selamat.
“Aku ga rela berpisah darimu kawan”, batin sebelah kiri merengek.
“Bagaimanapun aku harus memutuskan, lebih baik ikut suami tersayang”, sebelah kanan memantapkan.
Dengan keikhlasan si gadis membuat surat pengunduran diri. Dia melangkah gontai selepas dari biro personalia. Nangis....Menangis karena tidak ada pesangon yang didapat dari kerja kerasnya membantu perusahaan kontrasepsi itu.
Tapi sekarang dia lebih dewasa dibandingkan 2 tahun silam, lebih bisa memandang hidup dari berbagai sisi kehidupan. Bahwa hidup tak selamanya seindah seperti yang kita harapkan, ada liku dan jalan terjal. Mungkin suatu hari dapat penggantinya, dan anggap saja ini sebuah tabungan energi positifku yang kelak aku “ambil” di masa mendatang.
“Tanpa pesangon, aku masih bisa tersenyum”, soraknya bahagia.
Bagaimana dengan anda?












Tidak ada komentar