Header Ads

Sebuah Benda Bernama THR

Keraguanku tentang apakah pekerja “kuda” di tempatku memperoleh THR atau tidak akan terjawab nanti sore. Melalui pendekatan terhadap atasan yang kadang tak elegan dan penuh kepura-puraan, aku bertanya pada sang pemegang tahta keuangan yaitu Bapak. Sugiharto –dalam hal ini aku mengesampingkan atasanku langsung, karena susah ditembus akibat dangkalnya pola fikirku, atau –nya ya?, yang tidak merakyat.


 


Begini cerita itu aku tuangkan ke tulisan kecil nan seksi ini:


Bapak Sugiharto : S


Bodong               : B


Pembaca            : DS


Percakapan ini antara Bapak Sugiharto – Pembaca blog – Bodong : SDSB


 


Pada suatu malam, diiringi deraian air mata sang kodok yang menanti hujan, nan gelap tanpa suasana romantis yang dibuat-buat, aku merenung tentang bagaimana cara memperoleh –sekedar- informasi hak kami mendapatkan Tunjangan Hari Raya terberikan ataukah tidak. Sempat juga mikir, kayak orang gelap mata, mau membakar kantor jika hak kami tidak didengar. Ah, itu fikiran jorok dan akan membuang masa depan percuma.


 


Baik, rekaman cerita semalam seperti ini:


B : “Pak Andre (heran, suka banget dipanggil nama ini, dasar berkepribadian ganda), kalau saya perhatikan bintang di langit kok indah sekali ya.”


S  : “Bujuh busyet, kamu itu ngelantur apa? Aku tuh Boss mu tawuk...Masak berpantun ria ke aku, sana sama pembantu sebelah!”, dengan nada tinggi bernada dasar E#minor untuk range vocal Mezzo Sopran.


B  : “Ah gitu saja marah, Boss. Begini Pak, selama ini kan saya salah satu anak buah Bapak –bisa dibilang hamba Boss, dengan jilatan maut-  dengan loyalitas yang tidak diragukan, saya minta maaf lahir batin ya Boss jika layanan saya kurang memuaskan.”, rayuan Bodong diluncurkan dengan amat meyakinkan.


S  : “ Oh iya, sama-sama. Aku sebagai Boss mu (dengan busungan dada ala ayam jago siap di opor) meluluskan permintaan maafmu”.


B  “ Terima kasih, Pak”.


 


Sambil melirik ke kanan dan kiri (belakang nggak mungkin, pengin mati apa!), si Bodong memanfaatkan suasana tenang kantor -ketika di luar jam kerja- untuk mendapatkan hati sang Boss yang memang ditakdirkan banyak uang (walaupun dengan hasil korupsi, ya ga masalah). Kelemahan sang Boss dia analisis melalui insting yang dilatih dari kecil -dan mungkin bawaan sedari lahir- melalui Tapa Brata Wulang Areh. Salah satu kelemahan Boss dia tembusi yaitu “kesukaan dia makan jengkol”.


 


Kembali dia beraksi.


 


B : “Pak, saya tadi punya pengalaman lucu ketika berangkat kerja”, muka manis dipasang sebagai jerat.


S : “Apa nih, Dik?”, sedikit sinis tapi sudah mulai terperangkap oleh akting kampungan yang sok intelek.


B:  “Perut saya sakit akibat kelebihan makan jengkol, Pak. Istri saya ngidam aneh sekali, masak saya disuruh makan jengkol berpiring-piring”.


S  : “Di mana kamu beli jengkol, rending jengkol, semur jengkol, jengkol rebus atau jengkol goreng?, rengek sang Boss mengharap kebaikan hamba buah memberi sesuap jengkol.


B  : “Istri saya jago masak jengkol Boss”, ujarnya mantap.


S  :  “Maukah istrimu memasakkannya buat Boss-mu ini?”, meratap seperti cecunguk tak berpendidikan.


B  : “Dengan senang hati, Boss –padahal sesungguhnya dia sangat anti memanggil dengan kata Boss, sebuah kata yang merendahkan rasa intelektualitasnya, meninggikan saingannya.”,


 


Laksana kucing yang mengintai gereh –ikan asin- saat pembantu rumah lengah, akhirnya dia mengalahkan waktu dan dengan lahapnya dia memakan ikan tersebut. Tentu melalui loncatan, terkaman dengan cara yang tidak wajar.


 


S  : “Boss, besok semoga istri saya ngidam lagi –ngidam kok diharapkan, bagaimana anaknya kelak?- dan dia akan memasak jengkol lagi. Tapi saya akan meminta istri untuk membuatkan menu special buat Boss. Tapi Boss gimana THR saya? Sudah cairkah?”, serbu Bodong.


B  : “Wah sebenarnya ini rahasia perusahaan, Dong. Tapi karena kamu sudah berbaik hati akan memberikan masakan jengkol besok kepada saya, maka THR kamu akan aku naikkan sebesar 20 persen dari THR rata-rata pegawai. Lumayan kan buat beli popok anakmu.”


S  : “Kapan ke luar Boss?”, sedikit kecewa dengan kenaikan yang cuma 20%, itupun di tekor karena harga jengkol di hari raya melonjak tajam.


B  : “Besok, setelah jam 16.00 cari saya di ruang Boss besar!, dengan gagah dan berucap dalam hati “Emang aku bodoh bisa kamu jilat. Rasain kamu tombok!”


 


Begitulah cerita semalam tentang usaha dan hasil yang kadang tak bersesuaian. Setidaknya usaha Bodong patut diacungi jempol –bukan kaki lho.


 


Yang pasti THR nanti ke luar dan akan disambut dengan teriakan dan pekik kemerdekaan hati menyambut Lebaran.


Uang bukan jaminan seseorang dalam mencapai kesenangan, tapi dengan uang kita bisa merasakan susahnya tidak memiliki uang. Jadi Waspadalah terhadap uang!


 


 


 


 


 


 


 

Tidak ada komentar