Header Ads

Jakarta, Mimpi tak Terwujud

Perjalanan di dalam kendaraan “travel” menuju Jakarta, 05 November 2006, malam entah pukul berapa.

Duduk di kursi nomor 8, paling pojok sendiri, aku merasa gerah dengan suhu di dalam mobil yang kurang bersahabat. Pendingin ruangan yang bisa diandalkan ketika jejalan orang begitu menyeruai, molekul saling bergesekan sehingga panas meraja, mendapat protes dari segelintir orang yang tidak tahan dingin. Protes keras berasal dari sang sopir itu sendiri yang merasa kembung perutnya saat pendingin ruangan itu melakukan aktifitas.

Bukan melamun tapi mencoba mencari ide untuk merangkai kata-kata menjadi sebuah tulisan yang baik. Dan pandanganku tertuju kepada sang rembulan yang saat itu sedang bersinar penuh memantulkan cahaya matahari. Alangkah baik hatinya si luna yang dengan rela menjadi cerminan tanpa mau sebagai pemeran utama, ini tidak terlepas dari kekurangannya yang tak memiliki sumber penghidupan sehingga dia memposisikan sebagai perantara. Dalam pemikiran sang bulan, “Walau aku terbatas, tak ada halangan untuk berperan walaupun kecil dan aku memulai dari keikhlasanku”.

Belajar dari kasus sang bulan di atas, aku melakukan perjalanan menuju Tanjung Harapan dengan keikhlasan yang tidak dibuat-buat. Karena jika ketulusan hanya ucapan belaka, tak menembus hati, maka cuma kesia-siaan yang didapatkan. Lalu aku menulis, karena kendala akan kesulitan menulis saat perjalanan, dengan meminta bantuan telepon genggamku yang benar-benar sebelumnya aku sembunyikan rapat –dilipat-lipat di dalam celana dalam, upsss jorok.

Isinya sebagai berikut (aku tidak mengerti kenapa bahasan ini tentang pekerjaan, padahal kan aku jalan-jalan, gapapa deh):

Perjalanan menuju harapan pasti penuh dengan intrik dan pesona, berbagai tawaran cerita –manis atau pahit- siap menghadang kepada siapa saja yang berani menerima tantangan. Dari telusuran yang aku lakukan, bagi karyawan kerja awal, terdapat tiga golongan disesuaikan dengan kecakapan kerja yaitu:

Pertama adalah mereka yang orang-orang yang menutup mata hatinya, membuat tabir penghalang, sehingga menganggap pekerjaan adalah suatu rutinitas mencari uang yang hanya bersahabat dengan sebuah kotak maha pintar bernama komputer. Tak ada kehidupan sosial yang ingin diraihnya, kehidupan berkisar antara rumah – kantor – rumah – kantor , dan seterusnya. Orang semacam ini mengalami perputaran berfikir (baca bahasan tentang hal ini di blog saya), sehingga yang dibahas seringkali bahasan yang basi dan diulang-ulang-mungkin karena dalam otaknya hanyalah pekerjaan.

Di sisi lain ada sebagian orang yang menetapkan pilihan sebagai orang oportunis yang memanfaatkan segala potensinya untuk mendapatkan kesempatan sekecil mungkin agar dirinya terlihat dan tak tergeser. Ketika ada tawaran manis bergentayangan sedikit mewakili alam keinginannya, maka dengan segera dia akan menyanggupinya dengan alasan mencari tantangan baru. Tapi aku akui orang dengan jiwa oportuinis mempunyai kemampuan rata-rata dalam melakukan pendekatan ke atasan, pencarian informasi yang cepat, tahan banting dan pantang menyerah.

Pilihan terakhir merupakan perkawinan silang dan gabungan kedua sifat kerja di atas. Tipe ini sebetulnya merupakan “pemenang” dimana seseorang sebagai pemain drama kehidupan yang melakukan perannya di semua karakter hidup dengan memainkannya secara dewasa dan elegan. Mereka mampu menempatkan posisi secara tepat, ketika dia berhadapan dengan anak kecil maka sifat kekanak-kanakan muncul, namun jika berdiskusi seperti dosen dengan cerdas dia melakukannya.

Termasuk manakah kita, jawaban tentu ada pada perseorangan.

Anganku –di dalam kendaraan- mengalir ke hilir yang lain yang menawarkan cerita baru, apa itu.....simak kembali

Tidak bisa dibantah kalau dunia pencarian “uang” tidak dapat dihitung secara matematis –berkaitan dengan ketatnya persaingan kerja. Banyak yang memiliki pendidikan “rendah” akan dengan lenggang menuju tampuk kekuasaan, melibas intelektualitas dan idealisme sang pemikir. Hal ini menarik buatku untuk menelisik ke arah pendidikan kita yang didapat di masa lalu atau saat sekarang.

Saat ini aku merasakan bahwa dulu kita telah dipasung dalam berfikir sehingga hasil cetakan menjadikan kita selalu merasa pandangan diri adalah yang paling utama. Jika dulu kita mendapatkan ajaran bahwa sin 30 derajat adalah setengah, maka sesungguhnya hasil tersebut adalah tak terhingga. Hasil hitungan tak wajar ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang cerdas dengan segala kecerdikannya memanfaatkan segala potensi untuk mengembangkan kepak sayapnya. Namun banyakyang terjebak dalam hitungan standar bahwa sin 30 derajat adalah mutlak setengah dalam nilai.

Inti dari tulisan ini adalah aku baru melakukan pencarian bagaimana menjadi pekerja yang baik.






Tidak ada komentar