Header Ads

Keluarga Marxis Merentang Hidup (Bagian 2)

Dunia tanpa (Cap) Komunisme


 


Sejak kejadian pengambilan secara paksa tanpa peradilan pada bulan Oktober 1965 tersebut, keadaan desa menjadi sangat sepi karena penopang hidup keluarga raib tanpa pesan awalan. Pertanyaan tak bernoda seringkali terlontar dari sang kecil yang mencari tahu mengapa ayah mereka tidak pernah pulang. Sesulit apapun keadaan dan sebesar apapun permasalahan yang diujikan, seorang ibu dengan serta merta akan melakukan segala usaha untuk mempertahankan sisa hidup keluarganya tanpa kehadiran sang suami.


 


Sekokoh batu karang dengan angkuhnya menamengi dirinya dari ombak ganas, begitulah perumpamaan yang mendekati hati seorang ibu. Bu Dirjo yang telah lama menyatakan diri sebagai seorang janda, walau tanpa surat perceraian, bertekad untuk memerdekakan anaknya dari belenggu kepongahan. Mengais rezeki dari pintu ke pintu, menawarkan jasa apa saja agar anaknya bisa makan sesua nasi atau singkong. Dalam prinsipnya asalkan tidak menjual diri, segala pekerjaan sanggup dia lakukan.


 


Selama hampir 10 tahun Bu Dirjo dan kelima anaknya bergulat dengan kondisi ekonomi keluarga yang amat memprihatinkan. Pekerjaan menjadi tukang cuci baju keliling ditambah bantuan sang sulung sebagai tukang loper surat kabar masih dirasa kurang mencukupi kebutuhan rumah tangga. Apalagi keempat anaknya telah tumbuh remaja membutuhkan asupan pendidikan yang mutlak diberikan kepada mereka.


 


Pada awalnya, dari diskusi sang sulung dan ibunya, mereka cukup canggung karena stigma yang diberikan oleh masyarakat kepada keluarga Dirjo sebagai keluarga PKI. Perasaan takut, tidak percaya diri dan diskriminasi telah terbayang di depan mata mereka, sehingga keinginan untuk maju tertutupi olehnya. Seringkali mereka harus menjelaskan kepada anak-anak yang sering memberikan ledekan menyakitkan sebagai anak laknat PKI. Sungguh berat dan perlu perjuangan untuk melepaskan ikatan yang terlanjur diberikan kepada mereka.


 


Tapi tekad dan semangat yang tak pernah putus terus ditancapkan ke dalam hati, jangan sampai kobaran api redup hanya karena ucapan tak bermakna dari orang yang belum mengerti keadaan sesungguhnya. “Anjing menggonggong, khafilah tetap berlalu”, celoteh sang Ibu ketika makan malam bersama. Memang dia menyembunyikan keinginan membalas, bukan dendam atau sakit hati, semua perlakuan masyarakat. Namun dia memendamnya dengan mendidik anaknya lebih disiplin agar kelak ke depan dapat melebihi kemampuan teman-teman sebaya. Kepala tetap dingin menghadapi semua permasalahan, niscaya jalan lapang akan terbuka.


 


Semenjak kepergian sang ayah yang tak jelas berada dimana, terjadi perubahan yang sangat menonjol dalam diri sang sulung yang menjajakan surat kabar setiap pagi hari. Perubahan si Tono, begitu dia sering dipanggil, dikarenakan jeritan hati kecilnya agar dia memberikan sumbangsih dalam bentuk masukan keuangan agar keluarganya tetap bertahan walaupun badai permasalahan bertubi-tubi menerpa mereka. Seketika kedewasaannya menyeruak tatkala melihat adik-adiknya kesulitan membayar biaya pendidikan di sekolah.


 


Dia sangat sadar arti pentingnya pendidikan karena dengan keluasan wawasan diharapkan dapat membuka jendela menuju keberhasilan. Si Tono sudah lama tidak meneruskan pendidikan selepas ke luar dari SMA akibat tidak mampu membayar biaya sekolah. Sejak saat itu dia bersumpah untuk membantu adik-adiknya; dua diantaranya duduk di kelas 3 dan 1 SMP, sedangkan dua yang terakhir duduk di bangku sekolah dasar kelas 5 dan 1 SD. Permintaan silih berganti menghinggapi telinga kecilnya yang telah meranum karena kebal terhadap cemoohan warga tapi juga rengekan adik-adik.


 


Kejadian yang paling mengiris hatinya adalah ketidakmampuannya memenuhi permintaan buku adik terkecilnya karena saat itu surat kabar yang biasanya dia edarkan terkena bredel oleh pemerintah Soemanto. Pukulan yang amat berat itu mengalihkan perhatiannya untuk mencari tahu mengapa ketidakadilan selalu menerpa dirinya bahkan segera mengalir menjadi gelora menentang kesewenang-wenangan rezim.


 


Pelajaran dimulai dengan pengkritisan terhadap kacaunya pendidikan di tanah air yang sungguh tidak berpihak kepada orang kecil. Dia berfikir mengapa buku yang sebenarnya sudah dimiliki oleh kakak sang adik tidak layak lagi digunakan oleh si kecil, itupun harus membayar mahal untuk setiap gentian buku tersebut. Kalau boleh jujur, keadaan ini mengakibatkan pemborosan dan ketidak-konsistenan para pendidik. Padahal kunci dari keberhasilan pendidikan adalah kejujuran dan konsistensi semua pihak yang berkepentingan bagi kemajuan tanah air. Lebih jauh lagi adalah perubahan sistem kurikulum yang hampir setiap tahun berganti tidak tahu arah yang hendak dicapai.


 


Morat-maritnya dunia pendidikan di tanah air menjadi sangat keruh dengan campur tangannya guru -sebagai pelaku utama pendidikan- memanfaatkan kesempatan berbisnis buku. Bisa ditelisik hampir di setiap sekolah baik dasar dan menengah, penerbit mana yang mau dengan “ikhlas” memberikan uang sogok kepada pimpinan sekolah maka akan dengan mudah menjual buku-buku terbitannya. Herannya hal seperti ini dianggap sesuatu yang biasa dan guru-guru beralasan jika kegiatan ini tidak dilegalkan maka uang gaji tidak akan menutupi kebutuhannya.


 


Si Tono mulai belajar kritis menyikapi hidup, karena di zaman yang serba tanggung seperti ini ketersediaan orang-orang yang peduli terhadap permasalahan bangsa sangatlah sedikit. Tak jarang orang dengan idealisme yang tinggi akan dengan mudah menjadi perbincangan sekelilingnya untuk selanjutnya dihindari karena dianggap orang aneh. Masih dibutuhkan waktu buat Tono untuk mengembangkan idealismenya dengan baik namun tetap berpijak pada rasionalitas kemasyarakatan.


 

Tidak ada komentar