Keluarga Marxis Merentang Hidup (Bagian 1)
(Cerita Awal) Geliat Marxisisme
“Hidup memang susah, tapi ya nggak susah-susah banget kok Pak!”
Sayup-sayup suara terdengar dari sebuah rumah berdindingkan bambu dan beratap jerami dari seorang perempuan kepada sang suami. Ucapan itu terpaksa terlontarkan sebagai hiburan sang suami yang saat ini sedang dirundung kesedihan yang meletup-letup dikarenakan putus dari pekerjaan sehari-hari.
Sudah beberapa minggu ini Pak Dirjo mengalami masa berat karena pekerjaan yang selama ini menjadi tumpuan roda kehidupan keluarganya hilang akibat pemutusan kerja. Sebelumnya dia bekerja di sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit swasta di
Pak Dirjo berasal dari sebuah desa kecil di pesisir pantai utara Pulau Jawa yakni Desa Purwogumilar, yang kondisi perekonomiannya bertumpu pada sawah tadah hujan. Purwogumilar terkenal sebagai daerah tandus dikarenakan karakteristik daerahnya merupakan rangkaian pegunungan kapur (karst) dengan tingkat curah hujan sangat kecil. Untuk menghidupi keluarganya dengan profesi sebagai tukang batu, pada waktu itu dirasakan kurang memenuhi standar kelayakan dengan upah tiap bulannya sebesar seratus ribu rupiah. Padahal dia telah mempunyai
Semakin lama keadaan keluarganya tidak mengalami lonjakan yang baik malah cenderung bergerak ke arah titik nadir. Kebutuhan beras setiap bulan sebanyak satu kilogram dirasakan sudah tidak cukup lagi, karena jatah makan anak pertama, duduk di bangku sekolah dasar kelas 6, naik tajam. Dengan alasan kegemarannya terhadap olahraga sepakbola, anak kecil yang kelak menjadi tulang punggung keluarga, ditambah dengan dogma sang pelatih agar makan nasi sebanyak mungkin agar badan tetap fit membuat sang ayah pusing tujuh keliling. Belum lagi keempat anak yang lainnya, dua diantaranya kembar, sering bertengkar memperebutkan singkong goreng menjadikan sang ibu merah telinganya mendengar rengekan mereka.
Malam itu suasana kampung sungguh senyap, hanya remang-remang terdengar suara radio dari rumah sang lurah yang berada di sebelah rumahnya. Pada waktu itu radio adalah barang amat langka dan hanya dimiliki oleh orang-orang berstatus sosial tinggi. Lurah hanya memperbolehkan warga sekitar berkunjung ke rumahnya pada sabtu malam ketika acara sepakbola yang dipandu oleh reporter RRI Max Sopacua. Sungguh acara sepakbola itu menjadi kegemaran warga kampung, walaupun mereka tidak melihat kejadiannya tak menghalangi imajinasi mereka melihat atlet-atlet mempermainkan kulit bundar. Keruwetan hidup selama sepekan mendadak teruraikan dengan ledakan warga menyambut gol tim kesayangannya bersarang ke gawang lawan.
Pak Dirjo juga tidak menyia-nyiakan kesempatan langka untuk mendapatkan hiburan murah nan menghibur ini. Rintihan sang istri meminta tambahan uang belanja, raungan si sulung menjerit meminta nasi dan riuh rendahnya keempat sisa anaknya, hilang dari fikirannya berganti dengan kelegaan.
Pak lurah sebagai orang yang dituakan di daerahnya dengan senang hati menemani warga dan tak segan mengeluarkan sekedar makanan dan kopi pahit panas sebagai teman berkumpul. Asap rokok bercampur menyan mulai bergentayangan membuai keadaan menjadi pekat dan bergaya magis. Hampir semua kepala keluarga dan pemuda kampung tumplek bleg menikmati hiburan tersebut.
Hal ini sangat berbeda dengan keadaan ibukota
Wacana tersebut terus bergulir menjadi sebuah ketidakpastiaan suatu negara dan ditandai dengan turunnya Presiden Sukarto dari tampuk kekuasaanya selama dua dekade. Penunjukkan Letjend Soemanto menggantikan posisi presiden tergusur, sebelumnya menjabat sebagai Panglima Kostrad, menambah runyam peta perpolitikan. Analis politik saat itu sangat bingung menerjemahkan fenomena turunnya Bung Karno digantikan oleh orang yang tidak pernah muncul di permukaan politik tanah air. Kualitas sang pengganti masih menjadi rabaan dan mereka mempertanyakan keberadaan para jenderal yang terbunuh.
Sejak berdirinya rezim Soemanto telah diperlakukan jam malam antar pukul 6 petang sampai dengan subuh, dengan alasan menertibkan keadaan negara yang masih kacau. Atasan militer mulai melakukan sweeping di daerak kantung pendukung PKI, seperti Solo, Sragen, Blora dan beberapa daerah di Jawa Timur. Dimana-mana terjadi pencidukan warga yang tidak pernah mempunyai hubungan dengan PKI, yang lebih mengkhawatirkan adalah ketiadaan kesempatan warga untuk memberikan pembelaan.
Sepakbola yang telah mengakar dalam diri bangsa
Permainan berlangsung dengan tempo tinggi, diselingi trik-trik kotor yang dipraktikkan oleh kedua tim. Semua pendidikan yang telah diasupkan dari pimpinan karbitan menjadi tidak sia-sia. Di menit ke-65 permainan menjadi ricuh ketika sang wasit memberikan hadiah tendangan penalty kepada PSMI Medan karena pemainnya di jatuhkan di kotak terlarang oleh pemain PSTM Magelang. Merasa dirugikan oleh keputusan wasit sedangkan ia tidak melakukan kesalahan, seketika sang tertuduh memukul wasit hingga pingsan.
Kemarahan warga desa Purwogumilar sudah berada diubun-ubun menunggu satu berita yang dikeluarkan dari corong RRI. Tak tahan melihat kesebelasan kesayangan mereka kalah, para pemuda yang tinggi emosinya berteriak, “Palu saja itu PSMI, kalau perlu arit saja”. Menyeruak sudah keadaan itu menjadi lautan umpatan silih berganti antara palu dan arit.
Seolah tak menyadari kondisi negara yang sedang dirundung kemalangan dengan kasus G-30 S/PKI, dari jauh terdengar sirine mobil tentara yang sedang melakukan patroli memberangus pendukung PKI. Tentara kiriman dari provinsi sudah siap mengintai warga yang tingkah lakunya mencurigakan dan mendekati kerumunan warga desa Purwogumilar di balai desa. Ucapan “palu dan arit” menjadikan telinga para tentara menjadi gatal untuk segera menciduk dan dimasukkan ke penjara.
Tuduhan sebagai gembong PKI dan antek-anteknya segera dialamatkan kepada sekumpulan orang tersebut. Mereka segera dinaikkan ke dalam bak truk dengan paksa, mata mereka ditutup dan juga tangan diikat ke belakang. Yang lebih ngeri adalah kondisi Pak Lurah sebagai “gembong PKI” sebelum dimasukkan ke truk, dia mendapatkan bogem mentah dan pukulan senapan di mulutnya. Darah segar mengalir deras diiringi dengan tangisan sang istri yang mengiringi kepergian tanpa sangkaan itu.
Masa-masa sulit itu berlangsung sekitar 20 tahun lamanya dilalui Pak Lurah bersana warganya di balik terali besi, tak ada pengadilan yang menunjukkan letak kesalahan mereka. Perlakuan tentara sungguh mengenaskan, makanan dalam rantang berkarat, air minum entah matang atau tidak sudah menjadi kenyataan pahit bergulat dalam himpitan ruang. Mereka tidak pernah melihat lagi istri dan anak-anak mereka, hanya cicak dan nyamuk dengan setia menemani sampai sang waktu merubah hidup menjadi kembali seperti semula.
Pak Dirjo sebagai sosok yang sangat lugu dan selalu berusaha menerima apa adanya kehidupan ini mencoba tabah menghadapi segala ujian yang diberikan sang Khalik wa;aupun sangat perih. Kerendahan hatinya diwujudkan dengan banyaknya dia menyebut asma Tuhan melalui mulut dan hatinya, melalui sembahyang sepanjang hari mengharapkan keringanan beban.
Post a Comment