Keluarga Marxis Merentang Hidup (Bagian 3)
Tono Belajar Marxis
Tekad untuk mengadu nasib ke
Karena penasaran dengan kemegahan informasi, yang belum tentu benar, dari sang pujaan kampung, dia memberanikan diri untuk sekedar silaturahmi barangkali ada informasi pekerjaan. Perasaan ragu sempat menyelinap dalam fikirannya, namun demi kemajuan perekonomian keluarga dia rela untuk mencari celah barangkali sang Bos bisa memberikan harapan bagi Tono.
Pertama ia menjaga jarak ketika kerumunan warga sedang memberikan ucapan selamat dan menerima sekedar oleh-oleh berupa amplop kecil. Saat tiba giliran Tono menjabat tangan dengan seketika Den Bagus Paijo berbicara, “Apakah anda anak dari Pak Dirjo? Sepertinya wajah anda pernah saya kenal sekitar tahun 65-an”. Agak kebingungan juga sang idola melemparkan pertanyaan kepadanya. Dengan rasa percaya diri yang sedikit dibuat-buat Tono menjawab, “Betul Pak, bagaimana Bapak bisa mengenal nama Bapak saya?”.
Perkenalan sesaat itu benar-benar menjadi percakapan yang cukup seru diiringi dengan canda tawa seakan dunia telah menjadi milik mereka berdua sedangkan tamu-tamu lainnya mendapat pelayanan dari istri Den Bagus Paijo.
Cerita yang menjadi perhatian si Tono adalah mengapa orang yang baru dikenalnya sangat mengenal ayahnya dengan baik dan penuh semangat pula. Usut punya usut melalui interogasi yang masih dangkal, ternyata Den Bagus Paijo pernah satu sel bersama dengan Pak Diro ketika zaman penangkapan brutal berlabel antek komunisme. Dengan jumawa Den Bagus menceritakan bahwa idealisme dalam berfikir tidak akan mungkin terkalahkan walaupun harus melalui jalan yang benar-benar pahit dan menggetirkan.
Memang saat itu Den Bagus merupakan tokoh muda yang sangat disegani oleh warga saat itu, ia berumur 25 tahun dan kesosokannya mulai muncul dan terasah karena seringnya dia mengikuti kegiatan politik pada waktu itu. Sebenarnya tidak sepenuh hati dia menceburkan diri di daerah penuh intrik, ia hanya berkeinginan untuk mencari teman sebanyak-banyaknya sehingga segala yang difikirkan pelan-pelan tertata dengan baik. Dengan mengikuti kegiatan politik, saat itu dia tergabung dalam wadah Gerakan Pemuda Peduli Rakyat, kepekaan dan kepeduliaan sosial meningkat.
Kesempatan untuk bertukar pendapat dilakukan setiap sabtu malam, dibarengi dengan acara sepakbola atau wayang, tatkala warga sedang menikmati indahnya malam panjang setelah lelah bekerja selama seminggu penuh. Dalam ruangan berukuran 6 m x 6 m di depan rumah Pak Lurah mereka membicarakan hal-hal apa saja yang layak mereka angkat sehingga permasalahan menjadi lebih jelas menuju titik terang penyelesaian.
Fikiran dan ide tajam yang menggebu-gebu sering ia lontarkan ketika pembicaraan mulai mengarah ke kesewenang-wenangan pemerintah. Ia sangat jenuh melihat keadaan masyarakat yang selalu menjadi bulan-bulanan kebijakan pemerintah dan yang didapatkan hanyalah kesengsaraan. Memang apa yang dikatakannya dapat diterima akal sehat karena keadaan negara memang sudah tak menentu, ditandai dengan lebarnya jurang antara sang kaya dan miskin. Saat ia ingin menaikkan tekanan emosi di ruangan tersebut, tiba-tiba seorang bapak setengah baya memberikan wejangan untuk sedikit mengendorkan semangatnya yang sedikit kebablasan. Sejak saat itu ia berteman dengan bapak tersebur yang dikenal sebagai bapaknya si Tono.
Pertemanan mereka menjadi lebih dekat dan dilanjutkan dengan diskusi tambahan di rumah Pak Diro. Den Bagus memperoleh masukkan dari bapaknya Tono agar semua cita-citanya tidak sia-sia karena tingginya semangat. Kadang semangat yang tinggi akan berakibat tidak baik jika kontrol seperti agama tidak diasupkan. Agama sangat penting untuk menetralisir fikiran agar tidak menjadi monster yang kelak meledakkan kepala sang idealis. Hingga cerita berlanjut pada penangkapan besar-besaran oleh aparat pemerintahan yang menuduh komunis dan menjebloskannya ke penjara tanpa peradilan.
Den Bagus ke luar dari bui mendahului guru besarnya di dalam kerangkeng tak berpengharapan karena secara tiba-tiba pemerintah membebaskannya. Dia sendiri tidak mengetahui alasan pemerintah mengapa dia dimasukkan ke dalam penjara ataupun pemicu dia dikeluarkan. Sebuah tanda ketidakdewasaan berfikir yang ditunjukkan sebuah lembaga yang “dipercaya” untuk mengatur rakyatnya.
Karena tanggapan masyarakat yang tidak menerima sepenuhnya cap PKI dalam tubuhnya, ia bergerak untuk membuktikan diri bahwa walaupun tanpa penghargaan masyarakat, biasanya basa-basi, ia dapat tumbuh menjadi orang yang membanggakan.
Post a Comment