Header Ads

Intropeksi di Hari nan Fitri

Malam lebaran 1427 Hijriyah, 23 Oktober 2006, Malam sebelum kupejamkan mata


 


Beberapa jam lagi Sholat Idul Fitri akan dilaksanakan, bulan Ramadhan telah usai. Sedih.....ah, kembali lagi rasa itu muncul dan cuma sepintas lalu dalam imajiku. Apakah ini pertanda imanku masih gontai?


 


Mungkin ya, dari tahun ke tahun hanya perulangan bagaikan ucapan sang orator, muluk tanpa isi dan aku sangat menentangnya, yang makin tua makin ditinggal penggemarnya. Aku tidak mau menjadi seorang pembual yang manis di bibir tapi kotor di hati.


Sebuah tantangan selama sebulan telah terlampaui, dan aku bertekad merebut cintaNya, dengan sebuah keyakinan dalam intropeksi. Memang sungguh berat dan perlu perjuangan yang tidak main-main membutuhkan konsentrasi, ketulusan dan penghambaan tanpa batas. Lintasan fikiran semu selalu menawarkan mimpi manis, ingin rasanya aku kembali –mungkin hanya sekedar meliriknya saja- mencicipi indahnya hiasan dinding. Dengan senyum yang hambar namun manis menggelora, aku mematri hatiku untuk tabah. Satu asa: Aku mesti lebih baik.


 


Tak ada hasil tanpa usaha begitulah bebuyutku berucap. Jika dibandingkan, selaykanya tidak, dengan buku Prof. Quraish Shihab bahwa jika kita ingin menjadi insan yang lebih baik maka unsur pemaksaan adalah keniscayaan walaupun pahit. Cinta karena terbiasa begitulah bahasa pop anak muda.


 


Kembali ke Idul Fitri kadang aku tidak begitu sreg –cocok, penj- dengan acara seremonial layaknya berkunjung ke rumah saudara. Mengapa? Ada kesan penutupan diri, kepura-puraan, yang terlalu dipaksakan hanya sebatas satu hari pertemuan. Kita hanya membagi rasa senang saja, sedangkan perasaan sedih dibuang jauh ke sungai yang telah terlimbahi. Aku ingin berbagi tidak hanya canda dan tawa namun tangisku juga layak untuk didengarkan. Tumpahan rasa sepantasnya dilakukan melalui diskusi yang bebas dan tidak sekedar keseringan yang tanpa isi. Begitulah fikirku.


 


Memang butuh waktu untuk merangkai sebuah bunga, kata ahli rangkai bunga, agar dandanan sang pengantin begitu natural dan mengena di hati. Kita tidak dapat merubah budaya dengan pola fikir kita yang masih ranum. Sabar.


 


Tapi pendapat yang super sentimental tersebut harus dilihat dari sisi lain. Jikalau tidak ada suatu kejadian seperti lebaran maka tak akan pernah ada wahana saling bertatap muka dan tali keluarga akan putus.


 


Tapi kembali lagi aku protes dengan esensi yang menurutku hanya berbagi kesenangan saja, “Tak ada tampungan air mataku, mereka berceceran tak tahu arah”, ujarku meronta. Malaikat ketus menjawab, “Jika kamu ingin bergaya seperti itu, pergilah dengan angan-anganmu!”.


 


Perlu diketahui ini adalah Jawa dengan ketundukan pada leluhur dengan penelanan bulat utuh. Kuhela nafas panjang dan berat, biarkanlah aku dengan pilihanku namun aku belajar memahami lingkungan.


 


Masih terengar lantunan takbir, dzikir dan tahmid, dimanakah engkau sekarang? Hanya menguap saja kerjamu. Satu yang pasti, janganlah menuntut lingkunganmu berubah, tuntutlah dirimu untuk menjadi lebih baik.


 


Ramadhan usai, akankah kebaikan kita juga menghilang. Sadarkah kita arti Idul Fitri. Mari mencari....

Tidak ada komentar