USAHA YANG KANDAS
Sia sia apa yang telah saya lakukan tadi. Ia tak mau kembali pada saya. Tak ingin lagi ia membina lagi hubungan yang telah jatuh tercerai berai. Padahal, saya sudah menurunkan derajat kedekatan, menahan keinginan seringnya bertemu, dan membatasi segala hal yang biasanya kami lakukan. Alasan dia: logis! Sedangkan saya tak pernah berpikir sejauh mana akibat yang akan kami terima jika benar itu mewujud lagi.
Itulah hari terakhir di tengah teriknya matahari yang menampar wajah dan lengan saya. Ia menyisih dan menarik pandangan dari saya, terburu buru ingin meninggalkan diri saya yang terus meronta untuk mengembalikan kepercayaan dirinya. Bersikukuh dirinya untuk terus tak mau, saya mendobrak pertahanan hatinya, namun semua tak bisa lagi.
'Terserah, Mas!' ia melemparkan kalimat itu dan mengangkat badannya dari bangku.
'Sudahkah tak ada lagi kesempatan untuk saya?' tanya saya untuk kali terakhir meyakinkannya.
'Saya pamit!'
'Baiklah.' saya melepas dirinya dengan enggan. Ia mengulurkan tangannya dan saya menerimanya dengan kehikhlasan yang sudah tak bernyawa.
Tubuhnya lenyap bersama tikungan yang ramai pengendara motor. Ingin sekali saya mengejarnya atau berteriak teriak meminta pengampunannya agar semua orang di jalan tahu betapa saya masih membutuhkannya. Sangat berat saya untuk tak berjumpa lagi dengannya. Siapa yang menemani saya di tengah hari di antara bising kendaraan dan debu yang menempeli wajah?
Biarlah semua terjadi. Tidak harus mempermasalahkan pertemuan kami. Semua sudah berlalu yang tak mungkin bingkai foto kehidupan itu hilang dari dinding. Biarlah jadi hiasan spesial yang sekali sekali kita lihat. Kita rasakan sebagai hikmah.
Terima kasih, Sobat saya!
Itulah hari terakhir di tengah teriknya matahari yang menampar wajah dan lengan saya. Ia menyisih dan menarik pandangan dari saya, terburu buru ingin meninggalkan diri saya yang terus meronta untuk mengembalikan kepercayaan dirinya. Bersikukuh dirinya untuk terus tak mau, saya mendobrak pertahanan hatinya, namun semua tak bisa lagi.
'Terserah, Mas!' ia melemparkan kalimat itu dan mengangkat badannya dari bangku.
'Sudahkah tak ada lagi kesempatan untuk saya?' tanya saya untuk kali terakhir meyakinkannya.
'Saya pamit!'
'Baiklah.' saya melepas dirinya dengan enggan. Ia mengulurkan tangannya dan saya menerimanya dengan kehikhlasan yang sudah tak bernyawa.
Tubuhnya lenyap bersama tikungan yang ramai pengendara motor. Ingin sekali saya mengejarnya atau berteriak teriak meminta pengampunannya agar semua orang di jalan tahu betapa saya masih membutuhkannya. Sangat berat saya untuk tak berjumpa lagi dengannya. Siapa yang menemani saya di tengah hari di antara bising kendaraan dan debu yang menempeli wajah?
Biarlah semua terjadi. Tidak harus mempermasalahkan pertemuan kami. Semua sudah berlalu yang tak mungkin bingkai foto kehidupan itu hilang dari dinding. Biarlah jadi hiasan spesial yang sekali sekali kita lihat. Kita rasakan sebagai hikmah.
Terima kasih, Sobat saya!
Post a Comment