Gundala Putera Petir, PLN, dan Secangkir Teh Panas
Menunggu hujan reda. Sudah membayangkan aneka makanan dan minuman panas. Rasanya, ingin menyetop itu hujan.
'Hai, pawang hujan. Beraksilah!' perintah saya. Tidak bengis memang, tapi agak memaksa.
Saya oleh teman teman dikenal sebagai pribadi jutek. Jutek sendiri saya tak mengerti. Tebakan saya, saya dianggap juru teknologi. Ah, ada ada saja. Komputer saja saya tak punya. Untuk mengetik saya bisa, tapi untuk mengotak atik dalaman komputer, saya menyerah. Mengapa orang orang mengatakan saya jutek ya?
Petir menyambar nyambar. Entah ingin memecahkan kepala siapa saya tidak tahu. Jadi teringat Film Gundala Putra Petir. Andai ia ada di dekat saya, pasti saya akan bertanya begini:
'Gun, kamu kok kalah pamor sama Superman atau Batman, sih?' tanya saya ketus.
Dan si Gundala tak mau lagi berteman dengan saya. Karena saya ketus. Tak menghargai jerih payah si Pahlawan bangsa, sebagai simbol PLN. Yang diutus ke mana mana jika ada kerusakan trafo, yang meledak atau dengan sengaja diledakkan. Dunia memang sempit, untuk berganti kostum saja si Gundala tidak diberikan. Dan hanya itu itu saja yang dia pakai. Lalu, apa guna Hari Batik Nasional? Saya membayangkan, Gundala Putra Petir menjadi ikon kebangsaan yang dicintai oleh segenap rakyat Indonesia. Menolong kaum papa, dan memberika pelayanan umum yang teramat aduhai. Tapi itu sangat tidak mungkin.
Hujan masih turun. Tak selebat beberapa menit yang lalu.
Jam 17.25 mendekati azan Maghrib.
Makanan dan minuman hangat. Kembali lagi datang ke pikiran saya. Ingin saya wujudkan. Tapi saya takut mobil saya kotor oleh lumpur. Duduk saja saya. Menghitung dan memperkirakan, harta apa yang akan saya kumpulkan untuk beberapa hari mendatang. Jika ada celah yang mungkin saya manfaatkan, saya akan menjalaninya. Biar haram atau halal. Saya tutup telinga dan mata. Karena kesempatan tidak datang untuk kedua kali. Saya bukan koruptor.
'Mang, tolong buatkan teh manis!' perintah saya kepada pembantu kantor.
Nada suruh saya tak keras. Saya berpendapat, pembantu adalah separuh hidup saya. Tak saya perlakukan kasar. Jika tak ada dirinya, pekerjaan saya akan kacau. Berlaku adil kepada pelayan, akan menjadikan saya raja sesungguhnya. Semoga. Teh panas saja, sebelum memangsa makanan panas di ujung jalan Malioboro. Pemanasan.
Hujan reda. Dan saya berjingkat, menata diri.
Secangkir teh belum siap disajikan. Saya tak menyuruh si pembantu menghentikan pekerjaannya. Cabut.
'Hai, pawang hujan. Beraksilah!' perintah saya. Tidak bengis memang, tapi agak memaksa.
Saya oleh teman teman dikenal sebagai pribadi jutek. Jutek sendiri saya tak mengerti. Tebakan saya, saya dianggap juru teknologi. Ah, ada ada saja. Komputer saja saya tak punya. Untuk mengetik saya bisa, tapi untuk mengotak atik dalaman komputer, saya menyerah. Mengapa orang orang mengatakan saya jutek ya?
Petir menyambar nyambar. Entah ingin memecahkan kepala siapa saya tidak tahu. Jadi teringat Film Gundala Putra Petir. Andai ia ada di dekat saya, pasti saya akan bertanya begini:
'Gun, kamu kok kalah pamor sama Superman atau Batman, sih?' tanya saya ketus.
Dan si Gundala tak mau lagi berteman dengan saya. Karena saya ketus. Tak menghargai jerih payah si Pahlawan bangsa, sebagai simbol PLN. Yang diutus ke mana mana jika ada kerusakan trafo, yang meledak atau dengan sengaja diledakkan. Dunia memang sempit, untuk berganti kostum saja si Gundala tidak diberikan. Dan hanya itu itu saja yang dia pakai. Lalu, apa guna Hari Batik Nasional? Saya membayangkan, Gundala Putra Petir menjadi ikon kebangsaan yang dicintai oleh segenap rakyat Indonesia. Menolong kaum papa, dan memberika pelayanan umum yang teramat aduhai. Tapi itu sangat tidak mungkin.
Hujan masih turun. Tak selebat beberapa menit yang lalu.
Jam 17.25 mendekati azan Maghrib.
Makanan dan minuman hangat. Kembali lagi datang ke pikiran saya. Ingin saya wujudkan. Tapi saya takut mobil saya kotor oleh lumpur. Duduk saja saya. Menghitung dan memperkirakan, harta apa yang akan saya kumpulkan untuk beberapa hari mendatang. Jika ada celah yang mungkin saya manfaatkan, saya akan menjalaninya. Biar haram atau halal. Saya tutup telinga dan mata. Karena kesempatan tidak datang untuk kedua kali. Saya bukan koruptor.
'Mang, tolong buatkan teh manis!' perintah saya kepada pembantu kantor.
Nada suruh saya tak keras. Saya berpendapat, pembantu adalah separuh hidup saya. Tak saya perlakukan kasar. Jika tak ada dirinya, pekerjaan saya akan kacau. Berlaku adil kepada pelayan, akan menjadikan saya raja sesungguhnya. Semoga. Teh panas saja, sebelum memangsa makanan panas di ujung jalan Malioboro. Pemanasan.
Hujan reda. Dan saya berjingkat, menata diri.
Secangkir teh belum siap disajikan. Saya tak menyuruh si pembantu menghentikan pekerjaannya. Cabut.
Post a Comment