Dukun Begawan di Negeri Para Bangsawan
Manusia manusia bertaring panjang. Menyerupai drakula, tak persis, dan selalu mengisap darah di mana ia berada. Tak jarang, mereka melengkapi dengan tusukan sebilah pisau ke ulu hati, menampung darah yang menciprat lalu mengucur ke dalam satu mangkuk. Berpesta pora, membagi darah sebagai persembahan kepada setan. Sungguh kejam, tak berperikemanusiaan, menghalalkan sesuatu yang sesungguhnya haram untuk dilakukan.
Malam larut, tanpa gemintang, dan separuh bulan tertutup oleh tabir bernama awan kelam. Hati para bangsawan kecut, memikirkan negeri mereka yang tengah berduka. Ditinggal seorang bijak, dukun penyembuh kesayangan Raja. Tak ada lagi yang mampu menangkal segala sakit, yang ditiupkan oleh para drakula, penentang kebajikan, dan menyesatkan siapa saja yang berhati kecil. Bagi mereka yang berada di persimpangan, dengan mudah akan terhasut, dan satu persatu penyakit akan mendera. Dan, penawar, bernama Sang Dukun Begawan telah tiada. Negeri menjadi kacau.
Bangsawan berpikir keras. Tapi, betapapun mereka bertindak, tak ada satu pun putusan yang diambil. Karena, otak telah mati, terserang oleh virus baru. Ini pasti oleh manusia manusia bertaring.
Andai, sang Dukun Begawan masih ada, tak mungkin seperti ini.
Bulan tertutup penuh. Malam terasa memilukan. Lolong serigala memelas, angin menggoyangkan dedaunan dengan terpaksa, ngilu terasa di hati. Hanya ia ia yang tegar tak runtuh hati, sebaliknya mereka yang gundah akan binasa. Menyusul sang Dukun Begawan, tapi di sana, di alam barzah tetap berada di persimpangan.
Sang Dukun Begawan, kembalilah.
Post a Comment