Menanti Hadiah Sinterklas: Natal Putih
Menanti hadiah Sinterklas. Tahun lalu sekotak cokelat. Aku berharap tahun ini akan meningkat. Betapa senang Natal bersalju kali ini. Mama membuat masakan sangat banyak. Papa membelikanku banyak mainan yang keren-keren. Tinggal menunggu kedatangan Sinterklas di malam hari. Aku sudah menyiapkan dua kantung kaus kaki di perapian.
Lubang perapian kupandang tajam. Bosan, kuputuskan bergerak ke luar. Di pekarangan rumah, aku bermain salju bersama teman-teman. Kami buat boneka salju agar Sinterklas senang berkunjung ke rumah kami. Malam ini.
Genta berdentang di gereja dekat rumahku. Anak-anak kembali ke rumah masing-masing. Pukul lima sore, kewajiban mandi telah tiba. Ibu-ibu di kota kami selalu rajin memandikan kami. Di musim salju ini, anak-anak harus dibantu mandi oleh ibu mereka. Termasuk aku. Agar tidak kedinginan.
Minuman hangat sudah tersedia di ruang makan. Asapnya mengepul, sendok teh berada di atas cangkirnya. Biskuit siap disantap. Aku sudah tak sabar setelah berganti pakaian hangat ini. Langsung kulari, meninggalkan Mama yang sempat memarahiku. Hangat, menyegarkan tenggorokanku.
Jam dinding berdetak. Suaranya terdengar jelas di telingaku. Masih enam jam lagi. Bahkan lebih aku mengira. Sabar, jika aku sabar, pasti dapat hadiah lagi.
Papa belum datang. Masih sibuk di kantor. Seperti biasa, natal kami selalu begitu. Hanya Mama dan aku. Sungguh menjengkelkan. Tapi, setiap pagi Papa selalu memberi ciuman agar aku bangun. Di hari natal pertama. Setelah itu kuberlari menuju perapian. Dan kutemukan hadiah di dalam sarung kaus kaki.
Aku menunggu cemas.
Lubang perapian kupandang tajam. Bosan, kuputuskan bergerak ke luar. Di pekarangan rumah, aku bermain salju bersama teman-teman. Kami buat boneka salju agar Sinterklas senang berkunjung ke rumah kami. Malam ini.
Genta berdentang di gereja dekat rumahku. Anak-anak kembali ke rumah masing-masing. Pukul lima sore, kewajiban mandi telah tiba. Ibu-ibu di kota kami selalu rajin memandikan kami. Di musim salju ini, anak-anak harus dibantu mandi oleh ibu mereka. Termasuk aku. Agar tidak kedinginan.
Minuman hangat sudah tersedia di ruang makan. Asapnya mengepul, sendok teh berada di atas cangkirnya. Biskuit siap disantap. Aku sudah tak sabar setelah berganti pakaian hangat ini. Langsung kulari, meninggalkan Mama yang sempat memarahiku. Hangat, menyegarkan tenggorokanku.
Jam dinding berdetak. Suaranya terdengar jelas di telingaku. Masih enam jam lagi. Bahkan lebih aku mengira. Sabar, jika aku sabar, pasti dapat hadiah lagi.
Papa belum datang. Masih sibuk di kantor. Seperti biasa, natal kami selalu begitu. Hanya Mama dan aku. Sungguh menjengkelkan. Tapi, setiap pagi Papa selalu memberi ciuman agar aku bangun. Di hari natal pertama. Setelah itu kuberlari menuju perapian. Dan kutemukan hadiah di dalam sarung kaus kaki.
Aku menunggu cemas.
Post a Comment