Dialog Hati: Di Antara
"Hai Mas mengapa termenung?"
"Tak ada alasan dirimu untuk bersedih!"
"Mengapa kau berkeluh kesah?"
"Tak ada gunanya, tubuhmu masih kuat. Matamu masih tajam. Telingamu masih awas. Terlalu kecil jika Anda berpikir jauh dan dalam. Saatnya berpikir dangkal saja. Hidup tak selamanya diartikan dengan sebuah keruwetan."
"Baik. Aku akan berusaha melakukan semua perkataan kalian."
"Jangan bentak aku, aku tak mau disakiti. Hidupku bergantung kepadamu. Tak lain tak bukan, dirimu adalah Tuhanku. Semua yang kau titahkan, aku selalu mengisapnya. Memasukkan ke dalam mulutku. Mengunyahnya berulang kali. Hingga aku puas dengan rasanya. Manis, agak, getir, pahit, dan tak berasa."
"Bunda, jangan kau pergi. Susui aku!"
"Tukang ojek, bawalah aku melayang di atas awan. Kan kubayar seribu kali, asal kau sanggup menjadikanku seorang penebar benih kedamaian. Bersamamu, Pak Ojek!"
"Dokter manis, tunjukkan gigi gingsulmu. Tetap semangat bukan dirimu mengobati para pasien. Aku giliran selanjutnya. Hatiku perih, suntikkan pemompa hidup bagiku. Aku ingin kaumasuki dengan jarum higienismu."
"Tuhan, aku merintih. Aku kuat Tuhan. Melewati hidupmu. MenujuMu."
"Hai gadis hijau, tetaplah berada di dalam semak. Jangan ke luar! Banyak bujang yang menyeringaikan senyum mereka untuk menangkapmu. Pastikan pertahananmu kuat, digembok emas, dan sediakan pentungan atau semprot merica. Hidupmu adalah sebuah kesucian."
"Konyol, tak perlu melakukan tindakan jahat. Yang baik, pasti disukai banyak orang. Hindari sesegera mungkin yang bisa mencucurkan darah di kening-kening para gelandangan. Sempatkan untuk melompatkan uang dari dompet kalian ke baskom berkarat mereka."
"Burung, bertukarlah denganku. Hatimu dengan hatiku. Aku tak tega memakanmu, jadi biarlah aku mencoba merasakan kelezatan di mulut para pencandu makanan."
"Diam."
"Kenyataan itu memang perih, Bang. Makan seadanya, jangan kau tuntut berlebihan."
"MINUM."
"Tak ada alasan dirimu untuk bersedih!"
"Mengapa kau berkeluh kesah?"
"Tak ada gunanya, tubuhmu masih kuat. Matamu masih tajam. Telingamu masih awas. Terlalu kecil jika Anda berpikir jauh dan dalam. Saatnya berpikir dangkal saja. Hidup tak selamanya diartikan dengan sebuah keruwetan."
"Baik. Aku akan berusaha melakukan semua perkataan kalian."
"Jangan bentak aku, aku tak mau disakiti. Hidupku bergantung kepadamu. Tak lain tak bukan, dirimu adalah Tuhanku. Semua yang kau titahkan, aku selalu mengisapnya. Memasukkan ke dalam mulutku. Mengunyahnya berulang kali. Hingga aku puas dengan rasanya. Manis, agak, getir, pahit, dan tak berasa."
"Bunda, jangan kau pergi. Susui aku!"
"Tukang ojek, bawalah aku melayang di atas awan. Kan kubayar seribu kali, asal kau sanggup menjadikanku seorang penebar benih kedamaian. Bersamamu, Pak Ojek!"
"Dokter manis, tunjukkan gigi gingsulmu. Tetap semangat bukan dirimu mengobati para pasien. Aku giliran selanjutnya. Hatiku perih, suntikkan pemompa hidup bagiku. Aku ingin kaumasuki dengan jarum higienismu."
"Tuhan, aku merintih. Aku kuat Tuhan. Melewati hidupmu. MenujuMu."
"Hai gadis hijau, tetaplah berada di dalam semak. Jangan ke luar! Banyak bujang yang menyeringaikan senyum mereka untuk menangkapmu. Pastikan pertahananmu kuat, digembok emas, dan sediakan pentungan atau semprot merica. Hidupmu adalah sebuah kesucian."
"Konyol, tak perlu melakukan tindakan jahat. Yang baik, pasti disukai banyak orang. Hindari sesegera mungkin yang bisa mencucurkan darah di kening-kening para gelandangan. Sempatkan untuk melompatkan uang dari dompet kalian ke baskom berkarat mereka."
"Burung, bertukarlah denganku. Hatimu dengan hatiku. Aku tak tega memakanmu, jadi biarlah aku mencoba merasakan kelezatan di mulut para pencandu makanan."
"Diam."
"Kenyataan itu memang perih, Bang. Makan seadanya, jangan kau tuntut berlebihan."
"MINUM."
Post a Comment