Ada Mungkin
Mungkin di suatu tempat kubisa berdiri. Mungkin di sebuah lahan kubisa berlari. Mungkin di sebuah gubuk kubisa menikmati semilir angin. Mungkin di pematang sawah aku bisa bermain. Meninggikan layang-layang, melawan terik matahari.
Hatiku ingin berjalan sesuai keinginanku. Bukan milik orang lain. Hanya diriku yang berhak. Tak ingin kuterpasung oleh sebuah ikatan yang membuatku tak mampu sekadar menggeliat. Aku mohon jangan pisahkan diriku dengan jiwa.
Satu yang kuingin darimu, bantulah aku belajar berdiri. Tak lebih dari itu. Setelah itu, kuberi topi ini. Kukisahkan dongeng bijak kepada seluruh umat. Jika mereka sudi mendengarkan. Kalaupun tidak, aku akan terus mencari apa yang menyenangkan mereka. Tapi aku mohon, biarlah aku bermain seperti anak-anak lugu itu. Aku tak mampu menjadi dewasa. Aku terjebak di sebuah dunia yang kuterima segalanya. Jiwa anak kecil, di dalam badanku yang bongsor.
Mengapa aku selalu menyalahkan masa lalu? Selalu kubiarkan kenangan buruk itu menyembul, dan kuceritakan ke pada banyak insan. Mereka pasti jengah, sudah pasti. Aku terkunci di titik itu. Kumelangkah, ragu, teringat terus. Apakah itu yang membuatku selalu berada di sebuah tempias rasa yang mengucur. Tak kurasakan hujan sesungguhnya.
Aku tak memiliki rasa untuk menyatu. Jiwaku mengalir, entah ke mana, aku ingin melanglang. Apakah ini sebuah kesalahan di saat hidupku tengah berjalan separuh. Entah. Yang kuinginkan sekarang adalah menari. Ya, menari. Itu lebih baik dibandingkan harus bercanda yang nantinya menyakitkan. Menari saja, sendiri.
KUberputar-putar, meloncat bagai kupu-kupu. Sesekali menyesap madu bunga matahari.
Lebih indah, tubuhku penuh bulu lembut, kepakan sayap bersahabat dengan angin. Itulah diriku.
Terbang, ke atas. Terus, terus, terus, bertemu dengan planet Pluto. Ternyata dia kecil. Kepalanya botak. Aku mengelusnya sambil mengucapkan salam 'Dam, dim, dum."
Perintah si Raja kudengar. Aku terbang menuju tempatku semula, di bumi. Asyik sekali berkelana menikmati awan yang sering kutabrak. Kuberteriak kencang, seolah melampiaskan kekesalanku karena tadi sempat menyesap madu pahit. Salah memilih.
Raja kumbang bercapit runcing. Dia memerintahku untuk mencari angin puting beliung. Memintaku untuk memberikan pesan rahasia kepada si Angin perusak yang telah pergi. Sejam yang lalu, rumah Raja Kumbang diluluhlantakkan oleh si angin. Aku menuruti saja. Hatiku tak tercemar, setiap perintah selalu kuturuti.
Sepanjang perjalanan, angin yang kulalui semakin kasar. Gerakannya tak seperti sebelumnya. Aku menjadi kesal mengapa bisa seperti ini. Kemungkinan ini buntut si Pak Angin. Sudah dekat dengan targetku, batinku.
Makin panas, dan tak bersahabat lagi. Kelajuanku melambat. Aku tak kuasa melanjutkan perjalanan. Kuputuskan untuk beristirahat. Aku lelah. Kugeletakkan surat yang semestinya harus kusampaikan kepada yang berhak. Aku putus dalam amanat. Biar, aku ingin menikmati diriku sendiri. Kubuang surat itu, ke sungai di depanku.
Kumenghilang.
Hatiku ingin berjalan sesuai keinginanku. Bukan milik orang lain. Hanya diriku yang berhak. Tak ingin kuterpasung oleh sebuah ikatan yang membuatku tak mampu sekadar menggeliat. Aku mohon jangan pisahkan diriku dengan jiwa.
Satu yang kuingin darimu, bantulah aku belajar berdiri. Tak lebih dari itu. Setelah itu, kuberi topi ini. Kukisahkan dongeng bijak kepada seluruh umat. Jika mereka sudi mendengarkan. Kalaupun tidak, aku akan terus mencari apa yang menyenangkan mereka. Tapi aku mohon, biarlah aku bermain seperti anak-anak lugu itu. Aku tak mampu menjadi dewasa. Aku terjebak di sebuah dunia yang kuterima segalanya. Jiwa anak kecil, di dalam badanku yang bongsor.
Mengapa aku selalu menyalahkan masa lalu? Selalu kubiarkan kenangan buruk itu menyembul, dan kuceritakan ke pada banyak insan. Mereka pasti jengah, sudah pasti. Aku terkunci di titik itu. Kumelangkah, ragu, teringat terus. Apakah itu yang membuatku selalu berada di sebuah tempias rasa yang mengucur. Tak kurasakan hujan sesungguhnya.
Aku tak memiliki rasa untuk menyatu. Jiwaku mengalir, entah ke mana, aku ingin melanglang. Apakah ini sebuah kesalahan di saat hidupku tengah berjalan separuh. Entah. Yang kuinginkan sekarang adalah menari. Ya, menari. Itu lebih baik dibandingkan harus bercanda yang nantinya menyakitkan. Menari saja, sendiri.
KUberputar-putar, meloncat bagai kupu-kupu. Sesekali menyesap madu bunga matahari.
Lebih indah, tubuhku penuh bulu lembut, kepakan sayap bersahabat dengan angin. Itulah diriku.
Terbang, ke atas. Terus, terus, terus, bertemu dengan planet Pluto. Ternyata dia kecil. Kepalanya botak. Aku mengelusnya sambil mengucapkan salam 'Dam, dim, dum."
Perintah si Raja kudengar. Aku terbang menuju tempatku semula, di bumi. Asyik sekali berkelana menikmati awan yang sering kutabrak. Kuberteriak kencang, seolah melampiaskan kekesalanku karena tadi sempat menyesap madu pahit. Salah memilih.
Raja kumbang bercapit runcing. Dia memerintahku untuk mencari angin puting beliung. Memintaku untuk memberikan pesan rahasia kepada si Angin perusak yang telah pergi. Sejam yang lalu, rumah Raja Kumbang diluluhlantakkan oleh si angin. Aku menuruti saja. Hatiku tak tercemar, setiap perintah selalu kuturuti.
Sepanjang perjalanan, angin yang kulalui semakin kasar. Gerakannya tak seperti sebelumnya. Aku menjadi kesal mengapa bisa seperti ini. Kemungkinan ini buntut si Pak Angin. Sudah dekat dengan targetku, batinku.
Makin panas, dan tak bersahabat lagi. Kelajuanku melambat. Aku tak kuasa melanjutkan perjalanan. Kuputuskan untuk beristirahat. Aku lelah. Kugeletakkan surat yang semestinya harus kusampaikan kepada yang berhak. Aku putus dalam amanat. Biar, aku ingin menikmati diriku sendiri. Kubuang surat itu, ke sungai di depanku.
Kumenghilang.
Post a Comment