Lebaran, Tentara, dan Potongan Harga Tiket Bus
Akhir lebaran. Sungguh memuaskan. Belanja di pasar bersama sang kekasih desa.
Balik kerja. Di kota besar bergelimang uang. Udara sesak, jalanan penuh, teriak kasar di mana-mana.
Rindang sama. Antara desa dan kota. Gemerlap memang berbeda. Cara berpikir sangat berbeda. Jangan tawar lagi. Silakan memilih sendiri.
Desa, menuju tarikan magnet kota. Kota menawarkan sejuta pesona. Menggandeng sahabat yang belum berpenghasilan. Tanpa kartu tanda hidup, seluruh pemuda desa mencabutkan diri. Menuju kota besar ladang penghasilan.
Senang, berdempet-dempetan di dalam kereta. Penuh sesak. Udara pengap. Tapi hati senantiasa gembira. Tak lama, cuma dua belas jam. Atau jika sedang sial, molor beberapa jam tidak menjadi masalah. Rel kereta tanpa gangguan kendaraan lain. Siapa berani beradu?
Karcis sudah tidak berguna lagi.
Satu kelompok manusia berbaju tentara tersenyum simpul. Asap rokok bertaburan dari mulut mereka. Satu tahun dididik dalam gemblengan maut, tersalurkan penat mereka setelah berkumpul dengan geng motor di kampung masing-masing. Santai, tak perlu membayar karcis dalam takaran penuh. Cukup separuh. Karena baju seragam loreng yang sudah pasti mengendurkan kesingaan si kondektur. Uang bala-bala.
Pemudik terpelajar mengumpat. Mengapa keadilan tidak terjadi di negeri seindah ini? Negeri yang dulunya dikuasai militer. Dan sampai sekarang mereka masih bertindak separuh hati. Tidak satu hati. Satu bersama para pemudik yang membayar penuh.
Kendaraan berlapis baja di barak-barak militer. Teronggok pasrah dan tak dimanfaatkan secara optimal. Malah para tentaranya menggunakan moda transportasi umum, milik orang sipil. Jika kendaraan militer dibiarkan buas di saat lebaran, pasti banyak pemudik yang mau naik. Membayar penuh tak masalah. Kapan lagi bisa dekat dengan si mayor berlesung pipi. Pasti tak ada yang menolak.
Lebaran, siapa sangka selalu begini. Dengan transportasi seadanya.
Dering telepon genggam beradu dengan orokan si pria gendut. Di bus belakang sepasang suami istri tengah berbisik-bisik mesra. Ini hari yang istimewa.
Balik kerja. Di kota besar bergelimang uang. Udara sesak, jalanan penuh, teriak kasar di mana-mana.
Rindang sama. Antara desa dan kota. Gemerlap memang berbeda. Cara berpikir sangat berbeda. Jangan tawar lagi. Silakan memilih sendiri.
Desa, menuju tarikan magnet kota. Kota menawarkan sejuta pesona. Menggandeng sahabat yang belum berpenghasilan. Tanpa kartu tanda hidup, seluruh pemuda desa mencabutkan diri. Menuju kota besar ladang penghasilan.
Senang, berdempet-dempetan di dalam kereta. Penuh sesak. Udara pengap. Tapi hati senantiasa gembira. Tak lama, cuma dua belas jam. Atau jika sedang sial, molor beberapa jam tidak menjadi masalah. Rel kereta tanpa gangguan kendaraan lain. Siapa berani beradu?
Karcis sudah tidak berguna lagi.
Satu kelompok manusia berbaju tentara tersenyum simpul. Asap rokok bertaburan dari mulut mereka. Satu tahun dididik dalam gemblengan maut, tersalurkan penat mereka setelah berkumpul dengan geng motor di kampung masing-masing. Santai, tak perlu membayar karcis dalam takaran penuh. Cukup separuh. Karena baju seragam loreng yang sudah pasti mengendurkan kesingaan si kondektur. Uang bala-bala.
Pemudik terpelajar mengumpat. Mengapa keadilan tidak terjadi di negeri seindah ini? Negeri yang dulunya dikuasai militer. Dan sampai sekarang mereka masih bertindak separuh hati. Tidak satu hati. Satu bersama para pemudik yang membayar penuh.
Kendaraan berlapis baja di barak-barak militer. Teronggok pasrah dan tak dimanfaatkan secara optimal. Malah para tentaranya menggunakan moda transportasi umum, milik orang sipil. Jika kendaraan militer dibiarkan buas di saat lebaran, pasti banyak pemudik yang mau naik. Membayar penuh tak masalah. Kapan lagi bisa dekat dengan si mayor berlesung pipi. Pasti tak ada yang menolak.
Lebaran, siapa sangka selalu begini. Dengan transportasi seadanya.
Dering telepon genggam beradu dengan orokan si pria gendut. Di bus belakang sepasang suami istri tengah berbisik-bisik mesra. Ini hari yang istimewa.
Post a Comment