Header Ads

Memoar Lelaki Perut Buncit (Insiden Shock Breaker)

Jujur, dulu tubuhku tidak sebesar ini. Perutku tidak mencuat ke depan. Wajahku juga mulus dari jerawat dan selulit tak ada pada kakiku. Tapi sekarang, bisa dikatakan aku tak layak lagi menerima pujian “ganteng” atau sebangsanya. Aku telah menjelma menjadi lelaki tambun yang tak proporsional lagi.

            Inilah wujud baruku, yang sangat disukai istriku. Dia tak pernah menawar kekuranganku. Justru dia malah selalu terkenang dengan perut lucuku, pipi tembamku, dan kehangatan yang kuberikan. Aku tak menyesal menjadi melar. Kekurangan ini seakan menjadi senjata ampuh saat dulu menaklukkan hati perempuan yang kini menjadi belahan jiwaku.

            “Mas, apa yang kaupunya hingga berani melamarku?” tantang istriku waktu lampau.

            “Memang aku belum bekerja, Shan. Tapi setidaknya semangat akan kutunjukkan jika kamu mau kusunting.”

            “Zaman sekarang, Mas, mengandalkan semangat? Apa tidak salah kamu bilang seperti itu?”

            “Jika kau tidak percaya, belahlah dadaku!”

            “Seperti adegan sinetron saja, Mas. Makan apa aku nanti, Mas, andai aku jadi istrimu? Aku masih sanksi Mas bisa menghidupiku!”

            “Tak masalah kamu ragu terhadapku, Shan. Minggu depan aku akan bertandang ke rumah orang tuamu dan kulamar dirimu. Aku janji.”

            Seketika Shantie terdiam tak mampu membantah lagi. Hatinya pasti membeku karena aku melancarkan senjata pamungkas untuk menikahinya. Kuyakin dia berpikir keras antara malu dan berharap. Perempuan mana yang tidak ingin cepat meninggalkan masa lajangnya. Celotehan tetangga sudah tak nyaman lagi di telinga. Sindiran selalu menjadi pengurang umur hingga pelan-pelan objek penderita mati karena hatinya keropos.

            Aku mengenal setahun yang lalu karena kedekatanku di sela-sela kuliah. Kami sama-sama mengambil mata kuliah Filsafat di kelas yang sama. Terkesan oleh pertanyaan-pertanyaan cerdas yang dilontarkan Shantie kepada dosen, rasa ingin memiliki mulai merasuk ke otakku. Hati sudah tak bekerja lagi karena tertutup dan buta karena gadis itu. Pelan-pelan kulancarkan strategi untuk mendekatinya.

            Jurus-jurus maut seperti mengirim SMS nyasar kepadanya, meminta sahabat Shantie untuk menyampaikan surat cintaku, atau memancing perhatiannya serasa susah sekali dilakukan. Maklum, Shantie terkenal sebagai mahasiswi yang sangat idealis. Tak banyak lelaki yang berhasil mendekatinya. Dan lelaki terpilih yang berhak menjadi temannya.

            Dulu aku sempat mengurungkan niatku untuk sekadar berkenalan. Aku jadi berpikir, mengapa perempuan secerdas dia masih saja memilih-milih teman. Dalam pikiranku, mencari teman tak harus memandang latar belakang yang ada pada dirinya. Memang benar berteman harus selektif, namun penilaian itu harus dilakukan dengan jernih dan tak terlalu memvonis.

 

(bersambung)

 

 

 

 

Tidak ada komentar