Menjemput Karma Baik
Karma nyaris sama dengan Hukum Aksi Reaksi punya Sir Isaac Newton. Tak usah jauh jauh, di Nusantarapun ada pesan sangat bijak: Barang siapa menabur benih ia memanen buahnya. Kita boleh percaya dan menolaknya pun tak jadi soal. Tapi sungguh, bagi Ratno temanku karma tak ubahnya sebuah pelitanya di jalan yang ia kata gelap. Sekarang masa tersulit Ratno.
'Aku sudah menyakiti belasan perempuan.' ucap Ratno bernada menyesal. Ia mendongak menerawang.
Sudah jadi agenda kami, tiap Jumat usai latihan capoeira kami minum susu bersama. Di situlah kami mengobrol tentang hal di luar pekerjaan.
'Menyakiti perempuan seperti apa, Rat?' tanyaku menyelidik.
Ratno mengaduk segelas susu vanilanya dengan sedotan, mengisapnya, dan lega bersendawa. Sore ini gerimis, suasana yang mendukung relaksnya badan.
'Ada yang kugantung status hubungannya padahal kami dekat sudah dua tahun. Juga kumenyelingkuhi wanita lainnya, banyak, Dan.' katanya.
'Petualang sejati.' kusindir dia dengan pujian. Tapi ia tahu dan menolak sebutan itu.
'Dan pada suatu waktu aku menanggung karma semua itu!'
'Kau kena penyakit kelamin?'
Ia cemberut dan menjelaskan jika pernah ia ditinggal perempuan yang ia yakin miliknya. Ratno berkata itulah masa terburuknya hingga nyaris bunuh diri.
'Aku juga begitu, Rat!' seruku.
'Kau pernah mau menamatkan hidupmu? Kok nggak jadi sih! Ah, kita memang EDAN!' seru Ratno terbahak. Aku sama ngakak.
Kujelaskan, 'Mulutku bertuah. Setiap aku mengumpat, "matamu!" misal, besok mataku entah kena smash kok atau kacamata patah pas bokek. Makanya, kapok aku!'
Dan kami bersepakat untuk berpikir, berrasa, dan bertindak positip. Karena kami menganggap itulah solusia terdekat.
'Karma baik lebih banyak ketimbang yang buruk, kan?' Ratno bertanya.
'Yap!' balasku. 'Sekarang aku buktikan, kutraktir susumu!'
Ratno tergelak. Ia menyorotkan semangat baru.
_____________________
Post a Comment