Cak Nun & Gamelan Kyai Kanjeng ~Ashabul Kahfi Semalam Ada di Minomartani, Jogja
'Cobalah kau cari guru mengaji yang pas buatmu, Danie!'
Suara itu kudengar dalam gelap. Parau, ada sedikit nada meliuknya di akhir, dan membuat semua bulu di badanku merinding. Aku tak tahu siapa dia. Wali, iblis, tukang tagih kredit, atau ruh Michael Jackson?
Kutampar pipiku! Kanan, bablas. Tanganku tak merasakan tumbukan juga anggota tubuh lainku tak merespon kesakitan. Pipi kiri kucoba, sama!
Lalu kuingat ingat, kutundukkan kepalaku, dan ... ini alam mimpi! Dimensi tidur. Usia yang merambat membuatku sering lupa. Menuju pikun ditambah berita berita kotor yang kudengar dan rasakan di sekelilingku; pembacokan, korupsi, bom, BEDEBAH!
Tanganku dipegang sesuatu yang lembut dan dingin. Sejuk tepatnya. Jemari. Ya, tanganku digenggam dan digoncang.
'Danie, aku kakekmu!' ucap suara itu lagi.
Kakek? Aku tak pernah punya sosok eyang kakung yang menemaniku bermain waktu kecil. Ayah ibuku cuma kasih tahu kakekku seorang PKI yang mati dibunuh tentara. Orang tuaku tak pernah menyembunyikan kisah itu. Alasannya, agar aku tak mengenal kata dusta.
Kucari cari di buku sejarah, PKI diceritakan hitam. Mereka komplotan yang gemar berpesta dengan sajian oseng oseng tubuh manusia. Kakekku kanibal dong?! Akhirnya, kuputuskan menghentikan penelusuran sejarah kakekku. Ia orang jahat, musuh negara, teroris, dan tak pantas masuk ke hatiku.
***
'Danie, kau masih mempertanyakan aku?' tanya suara di depanku yang tadi mengaku kakekku.
Jres ... Korek terpantik dan obor menyala. Sepertinya si kakek sudah menyiapkan diri bertemu denganku terbukti repotnya ia bawa obor. Zaman sudah berubah, pakai HP kek, Tablet kek, sebagai penerangan di alam mimpi ini.
'Nah, kan .... Anda Arab! Muka Anda Jazirah Arab. Padang Pasir. Onta. Kurma. Minyak curah. Juragan TKW.'
Kusemburkan banyak kata kepada lelaki di hadapanku. Ia asli berwajah Arab dengan hidung elangnya dan janggut lebat panjangnya. Kalau dia kakekku, kenapa aku tak ada Arab Arabnya sama sekali.
'Anggap saja aku kakekmu, Danie!' Ia menawar. 'Toh ini alam tidur. Bebas saja.'
Pikir punya pikir, aku menerima ia sebagai kakekku. Dan kami mengobrol lama. Ia berkisah jika dirinya memang PKI. Aku terkejut dan menarik badan.
'Kalaupun aku PKI, tapi aku tidak sejahat yang buku buku tulis, Dan.' tambahnya.
Kudengarkan saja apa apa yang kakekku ceritakan. Ia mengaku telah insyaf dan tak berpolitik lagi.
'Politik banyak mudaratnya.' keluhnya.
Sejak dari dulu aku malas membahas politik. Kuiyakan ungkapan kakekku.
'Danie, kakek cabcus dulu ya. Ada janjian sama nenekmu. Kencan.' katanya.
'Nenek?! Dia baik baik saja?' tanyaku khawatir.
Ia menyodorkan jempol tangannya dan berkata SIP. Lalu berpesanlah kakekku itu agar aku mencari guru mengaji buat keseimbanganku.
'Oya, Cak Nun kayanya cocok buatmu!' ucapnya sembari meninggalkanku.
Bersambung
_______
Mengobrol teduhlah kita di www.rumahdanie.blogspot.com
Post a Comment