Header Ads

Helen Keller for President 2009

Bangsa ini terus berubah. Mencari bentuk, meraba-raba, dan mencoba mempraktikkannya. Membuang yang tak sesuai dengan pribadinya, disesuaikan dengan hati dan pikirannya. Rindunesia terus berbenah, bertekad bulat melepaskan belenggu-belenggu yang ada padanya. Tak lelah menantang maut, dia semakin kuat merasakan terjangan badai demi badai. Memburu sebuah kemakmuran yang terus diincar.

            Sering kali Rindunesia terantuk oleh batu yang berada di depannya. Perangkap yang dibangun oleh negeri-negeri lain, bahkan kemelut yang dibuat orang-orang dalam sendiri. Semua itu tak membuat Rindunesia mengalah pada nasib dan berusaha untuk memenangkan pertarungan berdarah ini.

            “Sampai kapan kau begini, Rindunesia?” tanya Cintanesia.

            “Tak usah kau bertanya begitu. Perjuangan tak akan berhenti sampai detik kau bertanya seperti itu. Sekali layar terkembang, pantang diriku untuk menoleh. Garis hidupku harus diubah dengan tekad kerasku.”

            “Apa kau tak ingin istirahat barang sebentar?”

            “Istirahat hanya akan membuang energiku. Bukan menumpuk tenagaku. Badanku remuk jika aku istirahat. Tidakkah kau lihat negeri-negeri lain berpacu dan bersaing? Cintanesia, ayolah jangan menjadi insan lemah! Hidup ini sesungguhnya bukan hanya berbuat saja. Tapi bagaimana kita bisa bermakna bagi sesama. Apa kita masih terus ingin menjadi insan yang berbuat keonaran?”

            “Terserah dirimu, Rindunesia. Aku akan melihat bukti perjuanganmu.”

            “Akan kubuktikan, Cintanesia.”

            Rindunesia melanjutkan perjalanannya. Entah ke mana.

Tidak ada komentar