Header Ads

Hari Ayah, Perlukah? (Tahap 2)

Setengah jiwaku adalah milik ayah. Separuhnya lagi tentu milik bunda. Mereka menyatu dalam diriku. Mencintaiku dan menyalurkan segenap keindahan dari mereka. Aku manusia separuh nyawa, antara ayah dan bunda.

            Keadilan bunda pasti tak terbantahkan. Semua insan pasti mengakui dan tak akan mungkin memungkirinya. Aku tahu dan aku sangat rela menjadikan bunda pahlawan bagiku. Ayah bagian tertunda dariku yang tak pernah direstui oleh insan, jika dia adalah pahlawanku pula.

            Ayahku tak setegar bundaku. Dia tak secerdas bundaku. Tapi haruskah aku berlaku tidak adil padanya. Dan menjadikan bundaku segenap jiwaku. Aku jiwa lemah yang terisap kenyataan bahwa negeri ini lebih memilih bunda-bunda sebagai bagian hidup. Melenyapkan peran ayah yang telah membanting tulang.

            Salahkah aku dengan pertanyaanku ini? Aku anak kecil yang tak mengerti arti sebuah peranan. Mempertanyakan adilkah hidup ini dengan peran bunda yang didewakan. Bukan, aku bukan anak kecil lagi. Aku tumbuh dewasa di tengah lautan pemikiran bahwa bunda adalah titisan dewa yang di kakinya mengalun irama surgawi.

Ayah, pasti kau tak menginginkan sebuah lencana di pundakmu. Aku tahu dirimu tak mempunyai hati buncah seperti itu. Kau insan yang tak mengenal keindahan bernama kepandaian. Hingga kau tak tahu betapa berharganya arti peranan itu. Yang disematkan kepada bunda. Dan bunda sempoyongan menanggungnya. Maukah kau berbagi dengan bunda, Yah? Membagi peranan untuk membantuku tegar menjalani hidup.

Tapi kita sudah terpisah dengan segenap perbedaan ini. Dan satu pintaku, aku ingin memberikan gelar kepadamu:

Surga juga berada di telapak kaki ayah.

Izinkan aku menyematkan kalimat itu di pusaramu.

Tidak ada komentar