Aksi Mama dengan Tumpukan Lemak
Lagu : Fat Mama
Pelantun : Herbie Hancock
Genre : Jazz Instrumentalia
Album : The Complete Warner Bros. Reco
Lantunan irama lagu Frank Sinatra berjudul My Way membahana di ruangan kecil sebuah rumah susun. Legenda musik jazz berkulit putih memang telah mendapatkan tempat di hati sekumpulan orang dari ras kulit berbeda, walaupun pencetus awal muasal musik ini tetap berasal dari kulit hitam. Suasana New Orleans pagi itu mendadak berubah menjadi panas tatkala terdengar pengumuman tentang penarikan pasukan Amerika Serikat dari perang Irak yang berlangsung lebih dari empat tahun.
Keteguhan hati yang tersirat dalam lagu tersebut memberi bekal kekuatan mental yang bagus untuk beberapa ibu yang ditinggal suaminya, tak terkecuali sang mama yang berada di kamar bernomor 34. Negro separuh baya, bertumbuh tambun dan berambut keriting itu sedang bersolek di depan cermin rias memalsukan wajahnya dengan aneka make up. Bedak bubuk yang sangat kontras dengan wajah hitamnya dipoleskan penuh melingkari sekujur mukanya. Gincu merah menyala digerakkan maju mundur ke bibir tebalnya, terlihat seperti anak TK bermain pastel gambar dengan riangnya. Semuanya serba tak cocok dan ganjil, tapi ekspresi itu mutlak menjadi miliknya sehingga omongan orang lain dianggap tak berarti selamanya. “This is my own world!”, celetuknya.
Bingung ia memikirkan bagaimana menyambut pelengkap hidupnya setelah berpisah dari tubuhnya untuk beberapa lama. Sedih dan gembira menjadi satu tanpa bisa dijelaskan melalui kata-kata. Ya, hari ini kontrak kerja suaminya sebagai ahli teknik perang di Irak telah habis dan berhak untuk kembali ke tanah air. Menjeritlah ia seketika!
Mari kita teruskan menyimak sepak terjangnya, sedang apa dia selanjutnya. Sebuah giwang perak berbentuk lingkaran tersusun tiga-tiga mulai dipasangkan di telinga kanan dan kiri. Jika kita meminta pendapat anak muda zaman sekarang, dijamin mereka akan terkekeh, sebuah kesan ketakseimbangan terlihat jelas di sana. Mirip anjing puddle barangkali hiasan itu, terlalu berlebihan!
Badan seberat 105 kg dengan tumpukan lemak di sana-sini, menandakan pola makan yang ceroboh, diangkatnya pelan dan penuh perasaan menjauhi meja rias. Langkah mantapnya diarahkan ke lemari pakaian. Dibukanya kotak penyimpan beraneka gaunnya hingga semerbak kamfer mewangi seluruh ruangan. Hidung besarnya bergerak-gerak layaknya tikus membaui sekerat keju, alangkah menyenangkan perilakunya.
Dilihatnya dari jauh, kepala disorongkan sedikit ke kiri, telunjuk bermain di dagu, mencoba memilih busana mana yang sesuai dengan isi hatinya pagi ini. Baju putih dengan setelan bawahan warna hitam dipasangkannya dan diletakkan di atas ranjang. Telunjuk diiringi keempat jari lainnya beralih ke kepala, digaruk-garuknya agak kasar bukan karena ketombe namun menyelaraskan pilihannya. “Ah, seperti pelayan pesta!”, cergahnya mantap. Ia memasukkan kembali pasangan itu ke dalam lemari dan memutuskan mencari pilihan lain. Pandangannya beralih kepada baju pesta yang sering ia pakai menghadiri pesta pernikahan anak, cucu atau kerabatnya di Kantor Catatan Sipil Negro. Warna merah muda, pernak-pernik bergentayangan dimana-mana, ditambah pita kuning lembayung menjuntai begitulah pakaian pestanya. Hatinya menampik keras dan terlontar ucapan, “Masak pergi ke pasar harus berbaju seperti ini!”.
Akhirnya mama memilih baju safari bermotif bunga-bunga khas pulau Hawaii. Baju yang dibelinya 10 tahun yang lalu bersama sang suami dipilihnya karena ia ingin mengembalikan memori indahnya sehingga semangantnya menyala kembali. Ukurannya sudah tak sesuai lagi dengan melarnya tubuhnya sekarang yakni Large, tapi kenangan itu mengalahkan segalanya. Celana yang dikenakan lebih aneh lagi, berwarna ungu warna khas para janda super ketat. Bisa dibayangkan seorang negro berjalan seperti lepet ketan yang banyak dijumpai pada lebaran negeri seberang.
Parfum disemprotkannya ke sekujur tubuh diiringi nyanyian kecilnya mengikuti lagu yang diputar CD player. Bau bunga meruapi seluruh ruangan dan dijamin bila anjing berada di ruangan itu akan melonglong tak henti-hentinya. Setelah itu tewas mengenaskan. Tak lupa sebelum ke luar dari kamar ia tutup mulut Frank Sinatra dengan menekan tombol berhenti di pemutar lagunya. Segera ia beranjak ke pasar membeli bahan masakan kesukaan suaminya: Oseng-oseng rempela ati bumbu pete.
Diserobotnya topi rajut rotan berwarna hijau muda dengan hiasan bunga matahari di tengahnya. “It’s making me like a princess”, bergoyang bak seorang puteri keraton inginnya. Belum lagi payung dan tas keranjang cantiknya, senyuman khasnya juga tak kalah menantang kehadiran lalat hijau sekadar bertandang. Semua prosesi layaknya dukun bayi mempersiapkan persalinan telah dilakukannya, sekarang waktunya berbelanja.
Kaki sebesar kaki pemain bola menuruni beberapa anak tangga dengan mantapnya. Tiap lantainya ada 20 anak tangga, jadi bila ia berada di lantai ke-5 maka minimal sekitar 100 anak tangga siap diinjak-injakinya bila ia ingin ke luar dari rumah susunnya. Sebetulnya sangat jarang ia turun untuk sekedar bersua dengan tetangga, apalagi naik ke tingkat atas dijamin sempoyongan setelah itu. Hal ini yang menjadikan badannya meledak seperti balon udara yang ditiup-tiup. Kegemarannya hanyalah menyulam benang wool menjadi pakaian hangat yang dipersiapkan untuk suaminya.
Pintu keluaran memanggilnya laksana seorang peri malam menawarkan para pemabuk cinta sebuah kenikmatan malam. Udara pagi di musim semi itu berbau aneka macam bunga, terutama bunga Lily kesukaannya yang tumbuh di taman sekitar rumah susun. Ia hirup dalam-dalam, ditahan beberapa menit dan dihembuskannya beserta batuk yang disebabkan alergi makan masakan laut semalam.
Berjalanlah ia pelan-pelan, kaki dijinjitkan sebatas keriangan saja. Menyusuri jalan menuju pasar pagi sungguh membuat dia bahagia. Matanya kadang menyipit dibuntuti oleh kuluman bibirnya, membuat orang di sekitarnya menelan ludah amat dalam. “Penampilan luar biasa!”, batin seorang lelaki renta dengan anjing yang ditarik dengan seutas tali di lehernya. Dibalasnya dengan kerlingan mata, kecupan bibir, hingga sang anjing pengiring lelaki tua itu cemburu karena sang bos beralih perasaan kepada manusia. Saat berlari kecil-kecil tanpa sadar, dengan begitu banyak aksesoris yang menempel, ia melupakan sesuatu. Ya, sebuah sepatu lupa dikenakannya! Jadi merendah kepercayaan dirinya seketika. Tapi karena terlanjur jauh dari rumahnya, perjalanan ia teruskan lagi. Tentunya tanpa high heels 10 cm yang biasa ia pakai. “Akan aku beli bahan masakan dan sandal jepit biar kakiku tak kotor”, cerianya.
Pesta penyambutan sang papa dijamin seru!
(Cerita selanjutnya, dari lagu fat albert rotunda, masih dari Herbie Hancock)
Post a Comment