Menjadi Profesor
Lelah berpikir. Apakah ini tanda ketuaan yang tak disadari? Melambat otak, untuk sekadar berpikir memecahkan rumus rumus yang lima tahun ditinggalkan. Oh, kenyataan membodohi saya, membuat saya tak berkutik, sekaligus memberi nilai yang tak terduga. Di tempat baru ini, saya mulai belajar kembali. Tentang arti sebuah hidup, yang tak melulu dari sudut pandang saya seorang.
Jika boleh memilih, dan ini menunjukkan sikap ketakdewasaan, saya ingin lima tahun itu tak ada. Biar saya belajar melanjutkan studi yang terputus. Masih panas, mesin masih kencang untuk menerima asupan intelektualitas. Sekarang, lima puluh lima puluh, begitu perbandingan yang saya tawar. Ribut berpikir, akankah saya bisa bertahan di kota ini. Yang sebetulnya bisa saja, tapi saya terlanjur pelan. Dijejali aneka kesemrawutan, kebengalan, dan diperparah lagi oleh kecelingusan saya, tak mampu untuk menyikapi hidup secara seimbang. Saya terkapar, dan bayangan untuk menggeser masa muncul.
'Hai, kau mau apa?'
'Jadi profesor.' Jawab saya
'Kau tahu?' Dia sepertinya ingin menasihati saya. Saya mendengarkan dengan berharap. 'Kau tak mampu lagi. Profesor gelar tertinggi di bidang akademis. Sekarang kau sadar tidak, umurmu sudah empat puluh.'
Tebakan dia salah. Saya tiga puluh sembilan. Tapi, tak masalah. Nilai satu poin tak berarti apa apa dibanding dengan masukan bagus yang saya dapat.
'Saya masih mampu meraih itu.' tawar saya.
'Andai kau memulainya di umur dua puluh lima, kau pasti sudah menjadi lektor. Persamaan matematika yang sulit, pasti kau bisa atasi. Tapi sekarang?' Nada meremehkan muncul. Gejolak jiwa muda saya mulai tersulut. Tapi, tak ada gunanya untuk sekadar melampiaskan rasa sesal, hanya karena kalimat yang multi penafsiran.
'Baik, Jika itu yang Anda ingin katakan. Tapi, saya mohon. Alasan apa yang menyimpulkan jika saya tak mampu lagi meraih gelar kehormatan itu?' Saya sengaja tak menatap wajah orang yang berada di depan saya.
Bola mata si Penasihat itu berkaca kaca.
'Mengapa Anda menangis Tuan?
Dia terisak. Jongkok. Seperti anak kecil yang kehilangan Bunda di pasar yang penuh sesak.
'Sudahlah, jika Anda tak sanggup mengatakannya, mungkin esok hari. Saya siap untuk menerima. Apapun yang Anda berikan kepada saya.' Saya mencoba menenangkan.
'Aku kasihan kepadamu.' Dia mulai berbicara. Masih dengan nada parau. Penuh rasa kecewa.
'Kasihan, apa yang membuat Anda merasa kasihan kepada saya?'
'Berat. Aku tak ... Ahh, berat mengatakan ini.'
'Tolong lanjutkan.'
'Profesor adalah pribadi seperti mutiara. Berkilau meski ia berada di dalam cangkang. Ia tak pernah merasa letih, walau pasir memasuki rumahnya. Kau tak seperti itu.'
Oh Tuhan. Benar yang dikatakan oleh orang di depan saya. Saya terpanah. Terlalu banyak umbar yang saya keluarkan. Terlalu banyak cerita bohong hingga orang di sekitar saya merasa tak nyaman. Terlalu banyak, banyak keterlaluan.
'Lalu apalagi?'
'Sementara cukup itu dahulu. Tugas kau adalah menerjemahkan kalimat itu untuk mengubah dirimu.'
'Menjadi seperti apa Tuan?'
'Kau yang bisa menjawabnya. Jangan mencari tahu seperti apa. Tapi, rumuskanlah dulu dirimu siapa.'
Dia menghilang. Meninggalkan saya.
Dan, mulai saat ini. Saya harus mengenal lebih dalam siapa saya sebenarnya.
Post a Comment