Header Ads

BADMINTON TASIKMALAYA: Bu Esih si Blonde

Sebetulnya, saya pengin menjepret wajah bu Esih blonde dan menunjukkan pada Anda. Tapi saya takut nanti kena gampar suaminya. Terpaksa saya ambil foto di google yang bule asli. Jauh berbeda sih. Hanya blonde yang mirip, itupun rambut milik bu Esih jauh dari pirang. Tepatnya: rambut cat tembok tumpah!

Awal bertemu bu Esih, saya selalu menundukkan kepala. Jika saya menatap matanya apalagi rambut blondenya, bisa bisa badan saya hangus kena radiasinya, pikir saya waktu itu. Tiap masuk ke GOR, saya clingak clinguk dulu di pintu masuk berharap bu Esih tak masuk latihan badminton. Penginnya, dia tak ada di lapangan, bahkan pindah planet Mars!

Perawakannya yang pendek dan gemuk, gelang gelang emas tebal yang memenuhi tangan kanannya, wajah berminyak berkilat kilat, membuat saya yakin jika bu Esih makhluk yang diselundupkan alien ke Tasikmalaya untuk menghancurkan badmintonnya. Kalau saya dekat sama dia, sering mengobrol lalu tanding, saya pasti dibawa olehnya ke luar angkasa untuk dieksploitasi kecerdasan saya untuk menghancurkan bumi. Bu Esih jahat!

'Mas, pripun kabare?' bu Esih menyapa suatu saat dalam rambut pirangnya sebahu. Tangannya menjabat saya erat dan meremas kuat.

'Sae, Bu ....' jawab saya gagu. Saya masih tak mampu menatap matanya. Takut saya berubah ular kena kutukannya.

Dia bercerita ini itu membuka percakapan dan menggempur pertahanan diri saya. Ia mengisahkan kenapa memilih rambut seperti bule Eropa. Itu biar energi lawan badminton melemah karena sudah silau oleh rambut dirinya. Alasannya itu saja.

'Saya bukan alien lho, Mas!' katanya.

Kok dia tahu pikiran saya? Jangan jangan dia bisa membaca pikiran, mampu mengubah kertas jadi uang dolar, mengubah nasib buruk orang untuk kaya raya! Wah, aset berharga nih bu Esih! Saya harus mendekatinya.

Lambat laun, seringnya saya bercengkerama dengan bu Esih dan merasai dahsyatnya permainan badmintonnya, tak ada lagi rasa ragu pada perempuan beranak tiga dan bercucu dua ini. Dia nyata manusia sama dengan diri saya. Wejangan baik nan bijaksana sering ia berikan pada saya. Di akhir percakapan selalu ia berdoa untuk saya yang tepatnya bujukan:

'Catlah rambutmu kaya saya, Mas. Rasakan perbedaan main di lapangan!'

Tidak ada komentar