Header Ads

NYUNDA


Kali pertama menjejakkan kaki di Tanah Pasundan tujuh tahun silam, saya gegar budaya. Rasa kepala saya berputar putar menjurus stres. Ini tak lain tak bukan karena makanannya. Sama ketika masuk Jogja waktu kuliah, saya nyaris bulimia karena tak cocok makan masakan manisnya yang bak kolak. Di Sunda, ini terulang lagi! 

Hawa dingin, bahasa yang berbeda, semakin melengkapi penderitaan saya kala itu. Pelampiasannya makan. Namun apa dikata, masakan Sunda bak alien yang asing di otak saya. Memang banyak pilihan lain seperti warung Padang, warung Tegal, tapi itu biasa. Saya langsung ingat jika ingin bertahan di negeri orang, ramahlah pada kulinernya. Akhirnya, saya memaksakan diri mencoba makanan Sunda. 

'Ak, meser naon?' 

Itu kalimat tanya pertama pemilik warung. Saya tertegun belum tahun maksud si empunya di hadapan saya. Naon sih tahu artinya apa. Kalau meser, saya pikir si ibu menghina saya mentang mentang saya warga baru yang tak tahan dingin ia bilang saya beser alias terkencing kencing. 

'Meser banyu, Bu.' jawab saya. Kencing ya air lah, masa kencing nanah. 

'Naon, Ak?' tanya si ibu lagi. Budeg kayanya pemilik warung itu. 

Saya amati, warung Sunda asyik punya karena banyak ornamen pedesaan. Atapnya rumbai rumbai dari blarak atau daun kelapa kering. Bambu menghiasi warung. Dinding gedek alias anyaman bambu. Pikiran rasis saya muncul bertanya tanya apakah orang Sunda ialah siluman panda. 

'Mas, beli apa?' si ibu mengganti pertanyaannya dengan bahasa nasional. Hore, saya sekarang tahu. Hati saya melonjak sudah tak terjadi roaming internasional. 'Tuang naon, Ak?' 

Alah biyung .... kembali lagi menyunda! Tuang itu mengucurkan air dari sebuah botol atau gelas. Lagi lagi si ibu bertanya tentang air. Apakah warung ini khayalan? Banyak makanan terhampar kok menawarkan air air dari tadi. 

'Makan apa, Mas?' jelas si ibu. 

'Oh, maaf Bu. Saya dari Planet Jupiter. Baru di sini. Belum bisa bahasa Sunda. Kumaha?' kata saya. 

'Nah itu bisa, Ak!' 

'Saleutik. Sedikit.'

Pun perkenalan itu permulaan saya mengenal budaya Sunda mulai dari makanannya. Sekarang, saya ketagihan oleh citarasanya yang cocok di lidah, ubun ubun, brutu, dan perasaan saya. Makanan Sunda menurut saya selalu segar terbukti dari karedok, lalapan, dan kuliner lainnya. Lebih sehat. Tentu tak boleh dilupakan, Sunda lah yang mengenalkan semur jengkolnya yang luar biasa. Buah surga itu bernama apa? Tepat, jengkol! 

Senang banget saya menemukan warung Sunda di dekat kantor. Jangankan slogan "Rabo Nyunda". Saya rela setiap hari menyunda! Menyunda kulinernya. Enak, murah, dan sehat, itulah kuliner Sunda!

Tidak ada komentar