Header Ads

KENAPA MERESENSI PENTING?


'Alah kau, Dan! Sok tahu banget kau pakai nilai orang. Dirimu itu lho nilai sendiri berapa bintang?!'

Mendapat perkataan seperti itu dari seorang sahabat apakah membuat saya marah? Tentu tidak. Justru saya menganggap itu semacam umpan balik dari aktivitas saya meresensi karya entah film, musik, pagelaran, atau apa saja yang menarik minat saya.

Meresensi bukan sesuatu yang sok sokan, jelas saya. Sahabat saya masih berisik dengan argumennya yang super duper wow. Namun saya tenang dan berusaha merespon tanpa reaksi berlebihan. Karena saya paham, kita sekarang telah amat parah terjebak jika mendapat berita akan bereaksi dengan sangar alias membabi buta. Ketika saya mendengar BBM naik, saya tahan emosi barang lima menit, saya mengolah berita dan melirik sana sini, dan buahnya saya memutuskan pendapat saya dengan otak jernih.

Sama, meresensi sebuah karya dengan respon saya pada BBM naik punya kemiripan. Ada unsur belajar, menganalisis, dan eksekusi. Berikut saya paparkan percis dengan apa yang saya katakan pada sahabat saya yang kritis bercap sekali.

1. Belajar
Belajar apapun. Terserah apa kegemaran kita--membaca komik atau buku, menonton film di bioskop, menyimak acara debat, melihat pertandingan bola--kita terlibat aktif di dalamnya bukan? Seluruh bagian tubuh juga emosi kita beraduk hingga kita lebur dalam kegiatan kesukaan itu. Ini berarti kita belajar, saling bertukar informasi bahkan karakter, dan tak jarang amarah kita melesat keluar dari tubuh. Belajar ialah aktivitas timbal balik. Apa kamu jual, saya beli. Situ butuh apa, saya sediakan, begitu pikiran bakul.

2. Menganalisis
Biasanya, kita terpotong di poin ini. BBM naik, kita langsung emosional, lantas muring muring dan mengompori teman untuk demo turun ke jalan. Intelektual tidak seperti itu. Ada proses mencari atau kerennya memburu berita. Kita selidiki apakah berita itu benar, salah, menyesatkan, bohong. Otak kita dipacu untuk berpikir logis lewat pencarian (research) alih alih menonjolkan letupan emosi. Emosi memang penting karena itulah endapan dari poin pertama tadi yaitu belajar. Tapi jika berlebihan, emosi akan menghancurkan proses menganalisis.

Nah, inilah gunanya saya belajar di jurusan Teknik Sipil yang mata kuliah Analisis Strukturnya sampai 5 tingkat. Saya terbiasa untuk menelaah terus dan terus, sampai detail, sehingga saya tak mudah untuk menelurkan putusan pemikiran yang ampang atau jika buah istilahnya matang karbitan. Menganalisis karya ialah keharusan karena dengan itu saya bisa belajar (lagi):
★ mencermati kelebihan
★ melihat kekurangan untuk saya perbaiki
★ mengembangkannya ke arah lebih baik. Buanglah kata sempurna karena ini sungguh menyesatkan. Pakailah 'ke arah lebih baik' saja.

3. Eksekusi
Seringnya, saya lemah pada eksekusi. Ini PR bagi saya. Analisis yang tajam namun tidak kuat di eksekusi berujung kita menilai karya dengan sinis. Kembali lagi, seorang tepelajar diuntut objektif. Jika kita melihat film bernilai rendah jangan dipaksa untuk bernilai tinggi. Pun begitu sebaliknya. Di titik ini, kita belajar (lagi) untuk fair atau adil. Kita belajar tidak melakukan korupsi. Benar, korupsi bisa dikikis lewat eksekusi yang semestinya. Wah, saya seringnya kelilipan jadi menilai karya dengan njomplang.

Begitu saya menjelaskan pada sahabat saya. Meski ia belum menerima seratus persen, setidaknya tiga pulus persen sudah bagus buat saya. Saya tidak menuntut ia sepakat. Ini hanya soal sudut pandang!

Sumber gambar: devianart.net

Tidak ada komentar