Header Ads

JOGJA KOTA EMOSIONAL

Semboyan "Jogja Berhati Nyaman" agaknya musti kita timbang ulangkan. Saya berpendapat demikian karena zona nyaman memang membuat kita terlena bahkan menutup segala kemungkinan untuk berubah. Nyaman mengaburkan niat berkembang cenderung gelap mata. Menurut saya, Jogja telah menuju ke sebuah kota yang antipati. Tidak seperti dahulu saat saya kali pertama menjejakkan kaki di kota yang bersahabat pada siapa saja.

Simaklah kasus beberapa bulan silam ketika Florence menggemparkan media sosial dengan kasus tak dewasanya di SPBU. Serta merta warga Jogja dan pecinta brutalnya membumihanguskan karakter Florence. Jogja meradang tanpa ampun. Padahal, kembali ini pendapat saya, Florence bisa jadi jenius karena dengan cara itu ia bisa bertemu dengan Sri Sultan atau GKR Hemas. Saya saja hanya bisa berangan angan bertemu raja dan ratu Jogja, eh Florence beberapa langkah lebih maju melakukan terobosan. Meski, patut kita sayangkan, cara Florence memang kurang bersusila.

Sekarang, segelintir orang yang menyebut diri mereka penggiat "Jogja Ora Didol, Jogja Tidak Dijual" mengembus ngembuskan isu air tanah Jogja sebentar lagi akan hilang akibat pembangunan hotel dan mal yang berlebihan. Tenang dulu, Brur! Apakah benar apa yang para aktivis katakan? Iyakah tata kota Jogja sudah sedemikian amburadul? Benarkah Walikota Jogja sekarang melakukan tindakan yang tidak ramah lingkungan.

Masalah ini berkaitan dengan banyak hal dan butuh duduk bersama seluruh elemen yang bersinggungan. Para ahli, birokrat, penggiat isu habisnya air tanah, masyarakat musti ngangkring bareng membicarakan ini. Tapi, sekali lagi, jangan meledakkan emosi secara kelewatan!

Kehadiran hotel sangat penting karena jumlah wisatawan Jogja tidak mungkin diserap oleh jumlah penginapan sekarang. Tak mungkin juga kita membiarkan para turis tidur di kolong jembatan yang banyak nyamuk agar kesan ndeso Jogja terjaga. Terlalu naif jika kita menampik pembangunan mal sedangkan zaman kini hal hal yang moncer menarik minat warga Jogja untuk membelanjakan uang mereka. Apakah Jogja tidak membutuhkan investasi dari orang luar lalu menutup rapat rapat dirinya?

Jogja memang unik. Kasus demi kasus justru meningkatkan nilai jual kotanya. Satu sisi, aktivis benar dengan tuntutannya agar Jogja lebih memperhatikan kesehatannya. Investor juga dibutuhkan di Jogja. Lalu, saya harus berada di posisi mana?

Saya abstain. Bukan tidak punya pendirian melainkan saya hanya berharap "Jogja tetaplah berhati nyaman". Atau semboyan ini kita ganti saja, ya?
Salam santun.

Tidak ada komentar