Header Ads

ADIL PADA KAWANAN GAJAH

Malam ini, tanpa sengaja saya bertemu dengan pawang gajah. Ia menabrak saya sepulang shalat Magrib dan berkali kali meminta maaf ke saya yang jatuh tersungkur. Awalnya saya ingin marah pada lelaki itu, namun saat saya hendak mengayunkan lengan malah ia menyodorkan mukanya. Saya mengerem emosi dalam bangkitan tubuh saya untuk tak jadi memukulnya.

'Kalau Sampeyan pengin menghukum saya, pukullah jangan ragu, Pak!' ucapnya lirih dengan matanya yang pasrah.

Saya khilaf sekaligus hati saya tersayat. Lelaki tua di hadapan saya bukan lawan saya yang masih bergas waras. Langsung saya menyalaminya kuat kuat dan memperkenalkan diri saya.

'Danie, Pak! Pengamat sepakbola.' seru saya. 'Tak apa apa, Pak. Mari kita duduk sebentar di sana.'

'Saya Shoim.' ia berkata namun ekspresi wajah dan geliat tubuhnya menunjukkan ketidaknyamanan saat saya menyebut diri sebagai pengamat bola.

'Ayo ke sana sebentar, Pak! Kayanya kaki saya berdarah, deh!' Saya berakting untuk membujuknya agar mau mengikuti keinginan saya. 'Tidak sedang sibuk, kan?'

Pak Shoim menggeleng dan membuntuti saya. Pun kami duduk di dekat penitipan sandal yang penjaganya sibuk melayani jamaah.

★★★

Awan gelap dan bunyi geluduk berkali kali menandakan ada keributan si langit sana sama dengan di negeri ini. Angin berembus keras seolah mengikuti hati anak anak negara ini yang sebentar lagi berubah batu karena ketamakannya. Pak Shoim di sebelah saya gelisah yang memantik insting detektif saya untuk mencari tahu apa penyebabnya.

'Saya buru buru, Pak Danie. Jadi menubruk Sampeyan! Maafkan sekali lagi, Pak!' kata Pak Shoim.

'Lupakan saja, Pak.' balas saya.'Toh kaki saya ternyata ndak apa apa.'

'Benar Sampeyan komentator bola?'

'Iya, Pak! Saya.'

Pak Shoim mengangkat kepalanya untuk melihat langit sembari menarik napasnya dalam dalam dan menyemburkannya. Ada getaran bunyi yang menyesakkan seolah ia ingin menceritakan sesuatu terahasianya. Saya mempersilakan Pak Shoim untuk meledakkan uneg unegnya.

'Baiklah kalau Sampeyan mau mendengarkan cerita saya, Pak. Ini sudah saya tahan bertahun tahun.' katanya dalam suaranya yang terdengar memercayai saya.

Habis Magrib, Pak Shoim berangkat pulang mendadak ke kampungnya di Lampung. Ia berada di Tangerang untuk menghadiri pernikahan keponakannya. Di kampung, ia punya sekolah bola khusus gajah. Selama berada di luar Lampung, gajah gajah atlet dirawat oleh anak anak Pak Shoim. Tetiba seluruh gajah sakit parah.

'Kau tahu karena apa mereka sakit, Pak Danie?' Pak Shoim bertanya lirih.

'Mencret, Pak?' jawab saya sekaligus memastikan.

'Karena berita di TV yang terus terusan menyerang gajah! Kalau sepakbola manusia brutal, mata semua manusia menyalahkan gajah. "Sepakbola gajah, tuh!", begitu semuanya!'

Bak banjir bandang, semua pikiran penat yang bertahun tahun Pak Shoim simpan lepas sekarang di samping saya. Ia masih meneruskan keluhannya.

Lanjutnya, 'Selama saya mendidik gajah gajah di kampung, tak ada yang negatif dar mereka. Mental mereka disiplin, tak pernah mengeluh saat saya menginstruksikan mereka harus ini dan itu. Kita tahu kalau kebutuhan makan mereka sangat besar, kan? Tapi mereka mau prohatin dengan mengirit makanan sesuai perintah saya agar mereka diet dan berhasil jadi atlet sepakbola yang tak kalah dari Ronaldo dan Messi! Mereka manusia penurut.'

Manusia? batin saya. Sepertinya, saking dekatnya hubungan Pak Shoim sang pawang sampai menyebut gajah gajah ialah manusia. Saudaranya.

'Gajah itu istimewa, Pak Danie! Meski badannya segede rumah sau lantai, tapi kakinya mampu menahan beban seberat itu. Karena kakinya berbentuk bantalan yang mampu menyebarkan beban ke tanah secara sempurna. Alloh memang luar biasa ....' lanjut Pak Shoim.

'Lalu Pak Shoim penginnya bagaimana dengan praktik sepakbola manusia brutal kaya kemarin yang malah bikin gol bunuh diri?' tanya saya.

'Uruslah sepakbola kalian dengan bijaksana. Tidak saling menyalahkan. Duduk bersama sambil minum kopi. Jangan tegang banget, lah! Masa kalah sama saya bareng gajah gajah yang suka bercanda bareng!'

'Ya nanti saya sampaikan, Pak Shoim.'

'Benar ya, Pak Danie? Saya senang sekali kalau pendapat saya ini sampai ke telinga manajemen sepakbola. Atau malah Menpora Pak Imam Nachrowi malah lebih bagus. Kalau pak menteri berkenan saya kasih sekadar berbagi pengalaman melatih gajah pada para pelatih, saya mau sekali. Gratis, Pak Danie. Saya akan naik bus dari Lampung ke Jakarta atau manapun di Indonesia. Semua saya tanggung sendiri.'

Bapak di samping saya bersemangat sekali. Aroma perubahan terasa sekali menusuk nusuk hidung dan perasaan saya. Dan saya wajib meneruskannya ke insan sepakbola. Bunyi geluduk makin sering menabuh pamit Pak Shoim teruntuk saya. Ia menyalami saya, saya mengulurkan kartu nama saya, dan ia berpesan:

'Tolong jangan sebut lagi sepakbola gajah agar gajah gajah di Lampung sembuh ya, Pak Danie. Sampaikan salam pada semua kawan atlet bola. Kita berjumpa lagi!'

Tidak ada komentar