Header Ads

GIMANA NASIB KAPUR INI?


Tahukah kalian jika polemik mana yang benar antara 4 x 6 dan 6 x4 yang paling menderita ialah sebatang kapur? Iya, kapur putih yang sekarang sudah jarang kita pakai untuk menulis di papan hitam lantas kita singkirkan untuk diganti spidol dan papan putih. Demi sebuah kenyamanan, kita melenyapkan sejarah yang pernah ada dalam ingatan. Kita memberangus kenangan indah dan buruk bersama kapur tulis.

'Memakai pena berarti kau mendekati kesalahan, Danie!' pesan Bu Fatma, guru Matematika SMA saya, masih saya ingat sampai sekarang.

'Kenapa begitu, Bu?' selidik saya. Saya memang dekat dengan guru favorit saya di depan saya ini. Ia mampu menjelaskan secara rinci apa yang ingin saya ketahui.

'Pena membuatmu malas. Duduk sembari membayangkan rumus rumus, kau menulis jawaban di bukumu. Lalu ibu mengoreksinya di rumah. Ibu mencoretnya. Itu kejam, Danie!' ucap Bu Fatma dalam sorot mata seriusnya.

Saya berusaha mencerna apa yang telah Bu Fatma katakan pada saya. Selalu, jika saya berbicara empat mata ketika bingar kelas tak ada, Bu Fatma memberi wejangan yang seringnya membuat kening saya mengerut.

'Berbeda dengan kapur tulis. Kau diwajibkan, ibu ulangi, kau diwajibkan maju dalam sorot mata kawan kawanmu, ada pula teman sainganmu yang tak menginginkanmu benar menjawab soal yang ibu kasih!' tambahnya.

'Saya musti bagaimana, Bu?' tanya saya.

Bu Fatma kembali berkata jika dalam suatu proses belajar mengajar, seringkali kita terpaku pada satu dua hal besar dan melupakan peran detail. Kita menilai pola mengakar guru, mencermati polah murid murid yang sulit menerima bahan ajar, dan ini itu. Tapi peran pena, kapur tulis, papan ajar, jangka, penghapus, tak pernah kita hitung dan nilai. Mereka punya peran tak main main. Inilah yang membikin kita tak mampu berpikir secara utuh. Sepotong sepotong.

'Artinya saya harus meluaskan cakrawala berpikir ya, Bu?' tanya saya. Mata Bu Fatma membinar.

'Tepat. Perluas dan jangan pernah terjebak benar dan salah dalam Matematika. Mata pelajaran ini bukan sekadar itu. Ada keindahan. Seni. Ketika ibu memberi soal, ada proses mencoba sekaligus mencanangkan target. Ada kegiatan menembus batas hingga kita mendapatkan jawaban. Lalu, ibu mengawalnya lewat koreksi. Tak berhenti dengan itu. Itu seperti siklus memutar. Kamj belajar, ibu belajar. Sudah itu saja! Kembalilah ke kelas.'

Malam ini, wajah Bu Fatma kembali hadir juga kapur tulis yang biasa menemani saya dan teman teman mengerjakan soal dalam pengawasan Bu Fatma yang jeli. Saya berpikir, apakah karena kapur tulis tak kita pakai hingga meledaklah kasus 4 x 6 atau 6 x 4 yang menggemparkan itu? Ah, Matematika memang menyimpan misteri yang menurut saya indah!

Tidak ada komentar