Header Ads

D(A)P(U)R SAYA

Memasak salah satu kegemaran saya selain menyibakkan poni rambut saya. Kayanya, ini keturunan karena eyang putera saya jago banget memasak. Bapak saya pula mahir meracik santapan namun sayang di usianya yang ke lima puluh terjadi insiden jarinya kena rajang pisaunya sendiri waktu memotong bawang. Sejak saat itu, bapak kapok memasak. Saya mewarisi darah mereka dan berhati hati jika beraktivitas di dapur agar tak seperti nasib bapak. 

Bagi saya, memasak itu kemewahan. Jika teman teman saya mengatakan memasak simbol orang irit, itulah kemewahan yang saya maksud. Jajan di luar selain menguras dompet banyak, berpotensi menjerumuskan saya dalam lubang kekerean, higienitas masakan sendiri terjamin oleh tangan saya. Saat memasak, saya menikmati sekali, sembari seringnya saya kangen sama ibu yang lari sama lelaki lain ke Jakarta. Ibu memang bejat! 

Malam ini saya memasak capcay. Aneka sayuran saya sudah beli di pasar pas istirahat kantor, kebetulan pasarnya sejarak sekilo, saya siap mengolahnya jadi makanan yang akan membuat chef sekelas Farah Quinn tetiba onderdilnya mengempis. Atau, Rudi Choirudin mendadak memutuskan jadi pegulat profesional karena tahu ia punya saingan yaitu saya. Pun, saya lebur dalam dapur saya yang bersih!

★★★

Bel rumah berbunyi. Dan itu tanda bapak datang. Bapak memutuskan tak lagi beristri karena ia masih berharap ibu pulang rumah, lompat pagar tepat jam dua belas malam entah kapan itu, meski ia tahu sudah tak mungkin. Gesekan kakinya dengan lantai saat berjalan sangat saya kenali. Itu bapak bukan maling. 

'Pak, sudah makan?' teriak saya. 

Tak ada jawaban. Batin saya, mungkin bapak capai setelah rapat Takmir Masjid. Saya teruskan memasak, saya masukkan sendok ke capcay di wajan yang mendidih didih. Saya cicipi dan PAS! Bapak pasti suka masakan saya, seru saya.

Tetiba bapak masuk ke dapur sembari menaruh sebuah majalah di meja di dekat saya. Saya tanya majalah apa itu, bapak keburu sudah ke luar dari dapur. Capcay telah matang!

★★★

Ketika saya hendak memindahkan capcay dari wajan ke mangkuk, saya lihat kaver majalah "Jakarta Globe" sangat mengerikan. Ada apa mereka dalam gambar ini? Di manakah keramaian itu terjadi? Saya cermati, wajah mereka tegang dan penuh emosi. Tak pandai saya berbahasa Inggris, juga tak gemar saya menonton TV, hingga saya tak tahu berita mutakhir.

'Oh, kayanya mereka sedang sidang membahas makanan!' Saya menebak apa yang tengah mereka obrolkan di gambar itu. 'Kudunya saya di sana. Topiknya pasti kuliner seru!'

Ada lelaki tinggi berdiri di depan barisan pimpinan sidang. Di belakangnya, banyak orang menunjuk nunjuk. Mereka sedang membahas kuliner apa sih? Kok pemimpin sidangnya seperti menolak sesuatu?

Pikiran saya mengembara menerka nerka apa yang tengah melingkupi mereka para lelaki berjas licin. Capcay sudah masuk ke mangkuk. Hmmm, saya coba sulih suara mereka.

Lelaki tinggi yang berdiri di tengah berkata, 'Anda bilang lotek makanan jorok? Hayo ngaku?! Kemarin ada orang bilang saya kalau Anda bikin isu itu!"

'Bukan, bukan saya!' Pimpinan sidang di tengah menyangkalnya. Ia menunjuk anggota sidang. 'Satu dari mereka tuh ....'

Sontak anggota sidang riuh. Mereka tak terima dengan tuduhan pimpinan sidang yang memfitnah diri mereka. Telunjuk telunjuk mengarah ke pimpinan sidang. Amarah meledak dan ucapan ucapan kotor memenuhi ruangan.

'Pimpinan pendusta!'
 
'Dia si penyebar fitnah lotek jorok!'
 
'Cuci tangan. Pimpinan banci!'
 
'Belum pernah kepala sampeyan kelindas truk, heh?!'

Kaver ini menunjukkan segala kekesalan. Tampak saya cermati tak ada lagi percaya antara mereka. Kok bisa sepiring lotek bisa jadi begini sih? Dan ada satu lontaran yang membuat saya kaget:
'Danie, segeralah ke sini! Bapak lapar ....'

Itu teriakan bapak. Saya tinggalkan majalah itu di D(a)P(u)R.

Tidak ada komentar