DUNIA TANPA NASI PADANG
Setiap saya masuk warung makan Padang, ketika kaki kanan saya menapaki keramik lantainya, saya berdoa seperti ini:
'Semoga Malin Kundang segera kembali jadi manusia!'
Pun permohonan itu saya tambah dengan lahapnya makan saya dengan memesan piring demi piring hingga perut saya penuh. Dengan itu, saya yakin energi yang terkumpul pada diri saya akan berpindah separuhnya ke Patung Malin Kundang untuk lekas balik jadi manusia.
Apa yang akan saya obrolkan dengan Malin Kundang nantinya? Tentu, masalah ibunya yang mengutuk dirinya. Saya tidak akan menghukum Malin Kundang secara membabi buta. Barangkali, Emak Malin Kundanglah yang salah. Siapa tahu! Toh, kita belum pernah tahu sudut pandang seorang Malin.
***
Kisah Malin Kundang yang saya baca waktu kelas satu SD terus menghantui saya sampai sekarang. Uniknya, saya selalu mendapat mimpi tentang Malin Kundang tiap malam Rabu laiknya film seri yang berlanjut. Di situ, saya menemui banyak cerita yang berlawanan dengan yang beredar di masyarakat. Tidak karena Malin durhaka pada ibundanya, tetapi masalah NASI PADANG. Benar, nasi kesukaan saya yang porsinya amit amit jabang bayi.
Saya cuplikkan episode Malin Kundang yang menurut saya paling menawan.
'Malin,' sapa Emak lewat Skype dari Tanah Minangkabau.
'Iya, Mak!' Malin menjawab.
Emak melemparkan 'dada' tangannya ke arah wajah Malin di layar tab nya.
'Gimana rantau kau di Jakarta, Nak? Baik baik saja kan, Nak?' tanyanya.
'Baik, Mak!' jawab Malin.
'Dagangan kau lancar kan, Nak?'
'Laris sih laris, Mak. Cuma kok keuntungannya sedikit ya, Mak?'
Emak langsung tanggap dengan kesulitan Malin Kundang yang tengah merantau di Jakarta. Ia tak mau anaknya jatuh bangkrut hingga ia musti mengorek masalah anak semata wayangnya dan ikut andil mencari solusi kebuntuan usahanya.
'Apa karena orang Jakarta makannya segunung gunung, Malin?' tanya Emak tegas. 'Itu bikin warungmu nggak nutup untungnya!'
'Bisa jadi, Mak. Biasa, kan kebanyakan di sini orang proyek. Jadi makannya sudah nggak ukuran ....' jawab Malin gundah.
'Apa kau pindah saja jadi tukang jual batu hias, batu gamping, atau apa yang berhubungan dengan batu. Emak belajar juga primbon Jawa. Kayanya, kamu cocoknya di batu!'
Inilah yang jadi anggapan awam jika Malin Kundang kena kutuk ibunya jadi batu. Malin berubah patung yang menjadi peringatan bagi generasi muda tak boleh membantah ibu mereka.
'Kukutuk semua yang makan nasi Padang nggak pakai ukuran! Nasi Padang nggak akan ada di dunia lagi!' seru Emak sampai tab-nya terpelanting. Malin kebingungan dari Jakarta.
'Mak .... jangan, Mak ....' Malin memohon mohon dari Jakarta.
***
Saat itu, saya langsung bangkit dari tidur dan mengambil wudu, shalat, dan memohon pada Allah agar kutukan Emak Malin Kundang tidak terwujud. Tidak bisa saya membayangkan jika Dunia Tanpa Nasi Padang. Tidak ada rendang, yang dinobatkan sebagai makanan terlezat di dunia, akan menghancurkan reputasi negeri tempat saya tumbuh ini. Lalu, tak adanya nasi Padang akan mengurangi greget saya mengikuti gairah orang orang Padang yang merantau ke luar dari daerahnya untuk berjaya di tempat lain. Rentetan masalah akan muncul dan menyesakkan diri saya. Bagaimanapun, masakan Padang ialah yang tereksotik dan layak dipertahankan di muka Bumi ini. Itulah alasan saya tiap masuk ke warung makan Padang selalu kalap!
Tuhan, saya mohon jangan wujudkan kutukan si Emak Malin Kundang, ya. Dan, saya meminta kembalikan Malin Kundang jadi manusia jika benar ia batu. Biar kami berdua nanti melakukan lobi ke Emak agar mencabut kutukannya. Terima kasih, Tuhan!
'Semoga Malin Kundang segera kembali jadi manusia!'
Pun permohonan itu saya tambah dengan lahapnya makan saya dengan memesan piring demi piring hingga perut saya penuh. Dengan itu, saya yakin energi yang terkumpul pada diri saya akan berpindah separuhnya ke Patung Malin Kundang untuk lekas balik jadi manusia.
Apa yang akan saya obrolkan dengan Malin Kundang nantinya? Tentu, masalah ibunya yang mengutuk dirinya. Saya tidak akan menghukum Malin Kundang secara membabi buta. Barangkali, Emak Malin Kundanglah yang salah. Siapa tahu! Toh, kita belum pernah tahu sudut pandang seorang Malin.
***
Kisah Malin Kundang yang saya baca waktu kelas satu SD terus menghantui saya sampai sekarang. Uniknya, saya selalu mendapat mimpi tentang Malin Kundang tiap malam Rabu laiknya film seri yang berlanjut. Di situ, saya menemui banyak cerita yang berlawanan dengan yang beredar di masyarakat. Tidak karena Malin durhaka pada ibundanya, tetapi masalah NASI PADANG. Benar, nasi kesukaan saya yang porsinya amit amit jabang bayi.
Saya cuplikkan episode Malin Kundang yang menurut saya paling menawan.
'Malin,' sapa Emak lewat Skype dari Tanah Minangkabau.
'Iya, Mak!' Malin menjawab.
Emak melemparkan 'dada' tangannya ke arah wajah Malin di layar tab nya.
'Gimana rantau kau di Jakarta, Nak? Baik baik saja kan, Nak?' tanyanya.
'Baik, Mak!' jawab Malin.
'Dagangan kau lancar kan, Nak?'
'Laris sih laris, Mak. Cuma kok keuntungannya sedikit ya, Mak?'
Emak langsung tanggap dengan kesulitan Malin Kundang yang tengah merantau di Jakarta. Ia tak mau anaknya jatuh bangkrut hingga ia musti mengorek masalah anak semata wayangnya dan ikut andil mencari solusi kebuntuan usahanya.
'Apa karena orang Jakarta makannya segunung gunung, Malin?' tanya Emak tegas. 'Itu bikin warungmu nggak nutup untungnya!'
'Bisa jadi, Mak. Biasa, kan kebanyakan di sini orang proyek. Jadi makannya sudah nggak ukuran ....' jawab Malin gundah.
'Apa kau pindah saja jadi tukang jual batu hias, batu gamping, atau apa yang berhubungan dengan batu. Emak belajar juga primbon Jawa. Kayanya, kamu cocoknya di batu!'
Inilah yang jadi anggapan awam jika Malin Kundang kena kutuk ibunya jadi batu. Malin berubah patung yang menjadi peringatan bagi generasi muda tak boleh membantah ibu mereka.
'Kukutuk semua yang makan nasi Padang nggak pakai ukuran! Nasi Padang nggak akan ada di dunia lagi!' seru Emak sampai tab-nya terpelanting. Malin kebingungan dari Jakarta.
'Mak .... jangan, Mak ....' Malin memohon mohon dari Jakarta.
***
Saat itu, saya langsung bangkit dari tidur dan mengambil wudu, shalat, dan memohon pada Allah agar kutukan Emak Malin Kundang tidak terwujud. Tidak bisa saya membayangkan jika Dunia Tanpa Nasi Padang. Tidak ada rendang, yang dinobatkan sebagai makanan terlezat di dunia, akan menghancurkan reputasi negeri tempat saya tumbuh ini. Lalu, tak adanya nasi Padang akan mengurangi greget saya mengikuti gairah orang orang Padang yang merantau ke luar dari daerahnya untuk berjaya di tempat lain. Rentetan masalah akan muncul dan menyesakkan diri saya. Bagaimanapun, masakan Padang ialah yang tereksotik dan layak dipertahankan di muka Bumi ini. Itulah alasan saya tiap masuk ke warung makan Padang selalu kalap!
Tuhan, saya mohon jangan wujudkan kutukan si Emak Malin Kundang, ya. Dan, saya meminta kembalikan Malin Kundang jadi manusia jika benar ia batu. Biar kami berdua nanti melakukan lobi ke Emak agar mencabut kutukannya. Terima kasih, Tuhan!
Post a Comment