Header Ads

KETHOPRAK MATARAM ~Mencontek demi Bangkit dari Mati Suri~



'Dimas, piyantunipun punika sami maos serat ing andhap!'

Seorang nenek menyeru tepat di kuping kanan saya. Kami duduk bersebelahan di jajaran terdepan di pentas Kethoprak Mataram pada acara Tasyakuran Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke 68 di Gamping, Jogja. Untung saja refleks saya bisa membandingkan mana suara perempuan tua dengan preman Pasar Giwangan. Jadi wajah si nenek aman terkendali tak terkena sikutan saya.

Seorang bapak menyikut tepat di dagu saya sembari memohon mohon maaf. Ia duduk di samping kiri saya asyik masyuk dengan rokok yang mengepul ngpulkan asap iblisnya.

'Boleh saya terjemahkan ucapan nenek tadi?' Ia melongokkan kepala ke arah si nenek dan mesem.

'Silakan. Saya terbantu.' ucap saya.

'Kata nenek tadi, dia pengin mempersuntingmu jadi suami mudanya!'

Kaget saya setengah mati. Saya lirik si nenek asyik memasuk masukkan sirih dan mengunyahnya laiknya permen karet a la remaja masa kini.

'Apa benar begitu, Pak?' tanya saya.

'Becanda, Mas.' Si bapak menjawab. 'Saya tahu mas lebih suka kambing!'

Batin saya, bapak ini sinting. Lalu ia mengoreksi jika sate kambing muda yang ia maksud. Dan ia menerjemahkan jika para pemain kethoprak di atas panggung meletakkan contekan di lantainya. Mereka mencontek teks.

Penonton luber, tua muda, lelaki perempuan atau transgender memenuhi lapangan. Panggung berdekorasi semacam kerajaan zaman Mataram menyala oleh lampu yang terang benderang.

Saya penasaran apakah benar yang diucapkan si bapak di samping saya. Pun saya meminta izin mendekat panggung namun beralasan yang agak tidak sopan yaitu 'Permisi, saya kebelet berak, Pak!' Waktu saya pamit kaya itu, si bapak memasukkan lemper ke mulutnya dalam ekspresi tersiksa.

***

Benar ternyata. Seorang pementas yang berperan sebagai raja berperawakan gemuk tanda kemakmuran membaca teks di lantai. Ia bolak balik menunduk dengan intonasi suara yang patah patah. Bahasanya Jawa halus. Aduh .... saya pun angkat tangan kalau jadi aktornya.

'Mas, jangan halangi penonton di belakang!' Seorang ibu setengah baya memeringatkan saya.

Saya lupa saking asyiknya mencermati kelangkaan ini. Si ibu memaklumi aksi saya seiring langkah mundur saya.

'Mereka pemuda dukuh sini semua, Mas. Baru pertama kali pentas.' Ucap si ibu bangga.

Pantas, batin saya. Mereka para muda yang kembali belajar mengenal jati diri mereka. Bolong sana sini mulai dari jeda yang terlampau lama, kostum kelewat menor, berubah jadi rasa takjub.

'Apapun itu, usaha mereka patut diapresiasi dengan baik!' Saya membatin kembali dan meminta izin ke ibu di dekat saya menuju warung makan.

Tidak ada komentar