Header Ads

Jika Siomay Makanan Terakhir di Bumi




Hujan deras menghantam Jogja. Suara kerotaknya sampai jelas di ruang tamu rumahku. Bersama satu rekan kerjaku, Joni, kami mengerjakan setumpuk berkas yang harus dikirim ke Jakarta besok tidak boleh lewat pukul tujuh pagi. Bos menyuruh menandatangani lembaran ini atas nama pejabat yang kami tahu ini bohong. Tapi bagaimana lag, ini tuntutan tugas dan jika menolaknya berujung pemecatan.  Siapa kasih makan diriku? Juga Joni dan keluarganya?
 Tenggelam dalam pekerjaan yang kami sebut "kaligrafi modifikasi zaman", kami menyetel MP3 musik Bollywood sambil berjoget tak keruan. Joni agak tak nyaman dengan pilihan laguku karena ia pernah punya pengalaman buruk gagal berpacaran dengan bule India. Kupukul punggungnya dan kukatakan jika sebagai lelaki tak bolehlah surut semangat kita dalam hal apapun. Asmara baru musti diburu, seruku. 
 'Lapar, Dan!' teriak Joni sambil memegang dan mengelus elus perutnya yang buncit. 
'Enaknya makan apa?' tanyaku. 'Indomie rebus? Goreng? Di dapur siap. Bikin sendiri, ya. Anggap saja rumah sendiri ....' 
Joni langsung cemberut. Aku tahu temanku tadi berharap ia sebagai tamu akan dilayani olehku seperti raja. Ah, enak betul! pikirku. Posisiku dan Joni sama: buruh. Toh tinggal menyalakan kompor gas ctek, mendidihkan air, dan masukkan mi instan. Beres. 
  'Malas, Dan ....' kata Joni. 
Nah benar kan, dia pengin aku yang meladeninya. Kusungutkan wajahku menunjukkan kemarahanku. Joni melanjutkan ucapannya:
'Malas makan Indomie, Dan. Kau itu kok pemarah sih! Aku sebetulnya diet ketat. Sehari kubatasi makan nasinya. Tapi ini sudah nggak kuat lagi ....'
'Kupikir kau minta aku buatin mi kamu, Jon .... Dasar otakku makin lama suka aneh aneh.' 
 Kutawarkan pada Joni siomay langgananku yang sebentar lagi datang. Jam 5an sore ini biasanya seorang penjual keliling, Amang biasa kupanggil, menjajakan dagangannya dengan sepeda ontel. Awalnya Joni tampak enggan dan beralasan ini itu. Tapi setelah kuprospek dan kukatakan jika rasa siomay si Amang sangat lezat dan murah, ini yang terpenting, Joni takluk. Kami pun menunggu di jam 4.30 sore ini. Setengah jam lagi. 
 ***
 Tiga puluh menit yang mulai menjemukan. Masih beberapa tumpuk berkas yang masih harus kami berdua tandatangani. Joni tampak letih dan bangkit menuju sofa melemparkan badannya lalu menekan remote TV.
 'Sial, TV gendeng, goblok! Tiap hari isinya berita bunuh bunuhan. Korupsi. Semua yang buruk buruk ditampilin ....' umpat Joni. 
'Lah,' aku menyela. 'Kan kamu bisa pilih stasiun lain, Jon. Acara olahraga, musik, masak memasak. Kau pilih yang panas panas, otakmu jadi meledak dong.' 

Joni pun menghentikan pencarian saluran TV dan kesengsem oleh acara memasak Transseksual TV. Seorang chef mirip Farah Quinn tengah beraksi.

‘Hai, Pemirsa. Saya, SARAH KUIN. Kuintal tepatnya. Dulu kerja jadi kuli panggul pupuk urea di Pusri. Bosan, saya akhirnya belajar ke Amerika Serikat kuliner. Awalnya ayah ibu melarang. Tapi tekat saya bulat. Anda berharap Farah Quinn yang masak? Salah besar. Sarah Kuin lah yang paling unggul. Saya. Aneka menu saya sudah hasilkan. Seluruh lelaki kalau mencicipi, pasti keranjingan pengin nambah. Mau menu apa? Ayo Anda sebutkan. Eits … sekarang saya yang memegang kendali pikiran Anda. Saya suguhkan menu untuk hari ini: Cake Ulat Sutra. Ubi Cokelat Sulawesi Tenggara. Saksikanlah setelah pesan pesan berikut.’
Sarah nyerocos tanpa henti. Perabotan dapur tampak mengilat. Banyak pisau di meja. Seolah itu menunjukkan alat perlindungan dirinya jika ada lelaki hidung belang ingin menubruknya. Sarah sudah siap melumpuhkannya. Rentetan produk iklan menghias waktu jeda. Bisa jadi si Sarah tengah membenahi wajahnya yang berkurang sinar make up nya.
Sarah Kuin muncul lagi di layar. Ia sekarang mengenakan baju adat Sulawesi Tenggara.
‘Pemirsa. Anda lihat apa yang saya pakai? Benar, baju adat daerah Sultra. Sesuai menu yang akan kita bikin. Ubi Cokelat. Sebentar Pemirsa, sebelum kita membikin menu, filosofi memasak seperti ini pemirsa. Memasak seperti transplantasi buah dada dengan silikon. Kita harus hati hati. Bikinlah sesempurna mungkin. Jangan sampai ada kesalahan. Berbahaya. Tidak lucu kalau buah dada besar sebelah. Oke, itu sisi lain. Sekarang kita mulai buat cake campuran ubi dan cokelat produk Sulawesi Tenggara. Kendari.’
Dengung mixer memecah keheningan ruangan. Mata Sarah jelalatan, ke kanan kiri.
‘Pertama kita kocok telur. Pakai mixer. Jangan kocok dengan tangan, ya. Ubi yang telah kita rebus dan tumbuk kita masukkan ke kocokan telur. Cokelat sebanyak satu sendok makan kita campurkan. Beri gula dan garam. Vanili jangan lupa. Kerjakan semua ini dengan hati. Jangan berahi alias emosi. Tidak boleh.’
Sarah memasukkan adonan ke oven. .
This is it!’ Sarah mengeluarkan cake dari oven. Ia mengendus, hidungnya bergerak gerak membaui menu yang sudah ia hasilkan. ‘Kita potong potong, beri topping, dan sajikan bersama teh ginseng!’
 Sarah Kuin menyampaikan salam perpisahan di televisi.
‘Selamat menikmati. Saksikan saya seminggu sekali. Hanya di Transseksual TV. Bye. Sampai bertemu kembali.’

 'Hai, Jon!' seruku. 'Kau lihat acara masak apa payudara ....' 
Joni terperanjat langsung mengelap ilernya di ujung mulutnya. ‘Lihat berita, Dan. Ah kau ini ….’
Kami terbahak bermelodi D minor ketukan 3/4.
‘Mana siomay nya?’ tanya Joni tak sabar.
Jawabku,’Itu sudah ada suara si Amang!’

****
Bersambung
 


 ___________________

Sumber gambar: apricotcake.wordpress.com
Meribut di www.rumahdanie.blogspot.com

Tidak ada komentar