Header Ads

Mbok Iyem, Permaisuri, dan Kudeta Kerajaan: Bagian 1

Mbok Iyem, Permaisuri, dan Kudeta Kerajaan: Bagian 1


Di pemandian para putri raja. Belum ada siapa siapa. Air belum juga diisi ke kolam. Keramik bergaya Tiongkok tampak mengilat menyilaukan mata telanjang para awam bukan berdarah keratin. Hari masih sangat pagi. Mendung, hujan mungkin turun. Para abdi dalem belum bergerak membersihkan singgasana, ruang bercinta Sultan, atau dapur untuk Sang Permaisuri belajar mengadon kue. Ini hari libur keraton. Karena Raja dan pasukannya berkunjung ke Negeri Seberang, Yunani Kota Para Dewa.

     Jika libur, malaslah adanya. Selimut tak mau berkompromi dengan kerja. Keinginan mandi raib bersama dengan kuap yang terus terusan. Mata tak mampu terbuka, berharap sang empunya tubuh tetap berada di alam mimpi. Dan, kesempatan para abdi dalam untuk merasakan betapa enak mendapat kesenangan barang seminggu. Jadwal kunjungan Sultan memang enam hari. Tapi, untuk hari ke tujuh, saat Sultan berada di Bandar Udara, para abdi sudah menyiapkan muka termanis untuk menyambut kedatangan sang Tuan. Jadi, anggaplah pas tujuh hari.


***

Mbok Emban bernama Supiyem. Ia dianggap legendaris di lingkungan keraton. Karena jasanya pernah menyelamatkan putra mahkota Raja saat hampir tewas tenggelam di kali. Berhektar hektar tanah diberikan kepada Iyem, panggilan akrabnya. Belum lagi,  sekolah tujuh turunan anaknya ditanggung oleh kerajaan. Iyem hanya dituntut untuk tetap dan lebih loyal mengabdi untuk sang Raja. Terutama kepada Permaisuri.

     Iyem menyapu aula besar pertemuan. Ia berpikir, biar saja abdi dalem lain berlaku tak tertib, asal dirinya konsekuen dengan janjinya untuk rajin. Memang, yang menjadi kendala Iyem adalah bobot tubuhnya yang di luar batas kewajaran.

‘Aduh. Kapan aku bisa kaya si Tini?’ Iyem mengeluh dalam suara lirih.

Tini adalah abdi dalem paling seksi. Sering membuat gempar kerajaan. Pernah suatu malam, Tini seperti kesetanan. Memanggil manggil Simboknya di kampung.

‘Mbok … aku wis ra kuwat Mbok! Mbok … aku sudah nggak kuat Mbok!’ raung si Tini dikelilingi abdi abdi.

Ternyata, Tini hanya berakting. Berpura pura, untuk mendapat simpati orang banyak. Belum kalau acara tukar pendapat dengan sang Raja, si Tini paling cerewet dan omongannya berbunga bunga. Si Permaisuri pernah memberi kartu kuning, sebagai peringatan:

‘Tini, kuperingatkan! Berlakulah biasa. Jangan buat orang lain susah.’ ucap Permaisuri.

Dasar si Tini punya akal banyak, semua bisa dikendalikan dengan baik. Dan kini ia menjadi kepala Koki Kerajaan. Meski, masakannya jauh dari kesan enak.


Mbok Iyem tampak tengah mengerik sisa lilin di lantai. Semalam lampu listrik Kerajaan mati. Andai saja si Raja tahu, pasti Perusahaan Listrik Keraton kena omelan. Si Kepala PLK pasti dicopot dari jabatannya, karena dianggap tak mampu mengolah asset Kerajaan dengan baik. Ia masih selamat karena Raja pergi lawatan. Tapi aneh, sisa lilin yang menempel sulit dikerok.

‘Lilin cap apa sih ini ya?’ Mbok Iyem berpikir. ‘Pasti yang bikin hebat banget. Bisa nempel kaya gini.’

Datang si Dibyo, jaksa kerajaan yang terkenal bengis.

‘Yem. Ngapain KAU!’ suaranya menggelegar. Di kuping bikin panas.

‘Ya Allah Den Den. Sampeyan anak muda ndak tahu tata karma. Panggil simbok kok Yem.’

‘Ah, Yem. Aku jaksa kerajaan. Tahu nggak KAU.’

Mbok Iyem geleng geleng kepala. Menelan ludah dengan terpaksa, ia berusaha memberi pencerahan kepada si Jaksa yang sekarang sombong.

‘Ingat Den waktu Aden belum jadi apa apa. Nyebut sama Gusti.’

‘Ga peduli. Aku mau tanya!’

‘Yo tanyao. Tanyalah,’ kata Mbok Iyem. ‘Asal yang baik baik, Simbok jawab.’

‘Raja  balik kapan?’ mata Dibyo melotot merah.

‘Baru saja pergi ke luar negeri.’

‘Ada nomor hape ndak Yem?’

Usus Mbok Iyem serasa memanjang puluhan meter berhadapan dengan Dibyo.

‘Loh, bukannya Sampeyan sebagai jaksa harus punya nomor beliau?’

‘Sori ya Yem. Hapeku sudah ganti.’ Tangan si Dibyo mengibas. ‘Nomor ilang semua.’

‘Gusti Allah. Sombong tenan Sampeyan Den sekarang.’

‘Cepat Yem!’ bentak Dibyo.

‘Simbok ndak punya.’

‘Dasar Ndeso KAU Yem!’ kutuk Dibyo sambil ngeloyor meninggalkan Mbok Iyem.

Dalam hati, Simbok berdoa semoga Dibyo kembali seperti dahulu. Santun, sopan kepada orang tua, dan selalu bertutur hangat.


***


Meribut di www.andhysmarty.multiply.com


Tidak ada komentar