Header Ads

Sepotong Sapu Tangan kepada Sang Badak

Menyodorkan sepotong sapu tangan kepada sang Badak. Ia tengah kedinginan, terkena flu. Bersin bersin dengan ingus yang menetes netes ke tanah. Sedikit ragu, tapi sang Badak menerimanya tanpa harus menendangkan kaki depan sebelah kanannya. Tapi dengan mulut. Yang tampak putih memucat dengan bintik bintik merah.

Ini hari yang sangat dingin. Suhu di bawah nol. Memang tak ada termometer. Tapi ini sungguh menusuk tulang. Kaki sang Badak mengorek salju, tanda ia tak suka. Juga matanya berair, ke luar terus.

'Bagaimana aku menggunakannya?' sang Badak bertanya dengan sapu tangan di mulutnya. Suaranya agak tak terdengar.
Saya berpikir keras. Apakah saya salah memberinya sebuah sapu tangan. Atau, seharusnya saya yang mengusapkannya ke hidung dan mata sang Badak?
'Aku tak punya tangan,' Dia meneruskan pembicaraannya. 'Kalau aku pakai dua kaki depanku, aku tak mampu menahan berat tubuhku.'

Memang, si Badak sekarang tampak gemuk. Kulitnya yang menebal, menjadikan ia tak enak lagi bergerak. Ia mengaku sekarang jarang berlari lari, untuk sekadar mengejar burung yang sering mengganggunya. Atau, tak pernah lagi padang rumput ia sambangi di musim panas. Lebih suka dirinya berada di kandang yang nyaman. Tempat Paman Pawang memberi kenyamanan, baik makanan atau tempat tidur. Belum lagi hiburan musik orkestra yang selalu diputar setiap Jumat jam 12 tepat. Menjadikan sang Badak ketagihan, lebih dalam lagi ke alam tidur. Setelah perut kenyang oleh makan siang.

'Ayo, bantu aku Nak. Aku sedang pilek. Sapu tangan ini kubutuhkan. Tapi bagaimana memakainya?'
Tak ada ide. Padahal sang Badak terus merengek, penasaran bagaimana cara menggunakan sapu tangan.

Badak, maafkan saya. Saya harus mencari dahulu.


Tidak ada komentar