Header Ads

Ayah, Aku, dan Layang layang

Bermain layang layang bersama ayahanda. Diajari olehnya, menaklukkan angin. Badai sekalipun.  Ayah membagi cara menerbangkan layang layang, jauh tinggi membelah angkasa. Menemani burung burung yang tengah terbang, atau menantang sang Mentari. Itulah Ayahku. Dengan kegemarannya yang diturunkan kepadaku.

Layang layang ini kami buat di belakang rumah. Di saat Bunda lengah. Karena tak diizinkan oleh Bunda kami menggunakan pisau untuk menyerut bambu. Kata Bunda, pisau itu warisan Eyang Kakung. Digunakan hanya untuk memasak, begitulah pesan Eyang. Dan Bunda sedang tidur siang. Ayah dan diriku membuat layang layang.

Tetaplah aku menghargai pendapat Bunda. Tapi, permainan mencuri curi membikin layang layang ini membuat Ayah dan aku senang. Jadilah layang layang. Berkertas merah. Dan benang gelasan berwarna hitam.

Ayah berkata, 'Layang layang merah kita akan tampak gagah di langit. Lihatlah Nak.'

Bangga sekali punya ayah seperti dia, saya membatin. Di sela sela kesibukan kantornya, Ayah selalu menyempatkan untuk mengajakku bermain. Di sawah ini. Jauh dari keramaian.

'Jadilah anak yang bisa menerbangkan ayahmu ini, Nak.'

Perkataan ayah tak jelas kumengerti. Mungkin dia ingin aku menjadi pilot. Yang akan mengajaknya terbang keliling dunia. Naik pesawat gratis, menjelajah tempat yang sering diceritakan ayah. Amerika, Arab, dan kadang Ayah bercita cita untuk tinggal di Prancis. Ia mengganggap Prancis tempat orang orang pintar. Karena mereka mampu membuat pesawat yang sangat besar sekali. Ya, aku harus mewujudkan cita cita Ayah. Mengajaknya jalan jalan.

Layang layang menemani kami selama dua jam. Puas, kami kembali. Disambut senyum Bunda. Tanpa omel yang tadi kami takutkan akan disemburkan kepada kami.

Ayah, Aku, dan Layang layang.








Tidak ada komentar