Header Ads

Semprong Kuping Spektakuler: Harmonisasi Keluarga Berbintang

Membersihkan telinga bersama. Seluruh keluarga. Tiga generasi sekaligus. Dari Eyang Putri, Kakung, Bunda, Ayah, dan Adik. Tak lupa Tante dan Om. Semua berjuang bersama, sekadar ingin mengeluarkan kerak kerak dari lubang kuping yang gelap.

Eyang Putri, seorang pekerja keras. Bekerja seminggu lima hari kerja. Setiap hari mengayuh sepeda dari rumah ke kantor sejarak lima kilometer. Tak jauh memang. Cukup untuk menunjukkan ke anak cucu jika kesederhanaan sangat dibutuhkan pada waktu sekarang. Yang glamoritas anak anak muda serasa memecah pintu langit Tuhan. Bersepeda bagi Uti, panggilan sayang untuk dirinya, menjadi semacam nostalgia saat bertemu dengan Kakung di masa kuliah yang penuh dengan perjuangan.

'Kung. Uti sayang ama Kakung karena sepeda butut itu.' Uti seringkali memberi kisah saat keluarga berkumpul sembari menunjuk sepeda yang sampai sekarang masih terjaga kondisinya. Dan Kakung tersenyum simpul.

Dengan Indian ear candle, yang lebih menancap di otak jika disebut 'Semprong Kuping', Uti ingin menguras semua gosip yang masuk dari infotainment di jagad pertelevisian.

Lain halnya dengan Kakung. Ia menyetir mobil jika berangkat kerja. Jaraknya jauh. Jika harus bersepeda setiap hari, pergi dan pulang, tak bisa dibayangkan seberapa besar ukuran betis Kakung. Memang bagusnya bersepeda. Tapi tidak efektif dengan mobilitas Kakung yang seperti Pencari Pesugihan Babi Ngepet yang dikejar penduduk karena kepergok mencuri uang di rumah seorang Janda, yang ternyata memiliki tameng penjebak ilmu hitam.

Kakung ikut serta berterapi Semprong Kuping dengan niat membersihkan deru deru jalanan. Ya, setiap hari ia mendengar klakson penunggang motor anak SMA yang keranjingan di jalan. Atau, di perempatan lalu lintas, dengan kondisi macet yang parah, asap asap Bus Kopata berhasil masuk ke mobil melalui sela jendela. Dan mengotori telinga kakung. Tentu, yang lebih masuk akal adalah alasan Kakung begini:

'Kakung pengin pakai ini,' Memamerkan semprong kuping berwarna ungu kepada anak dan cucu. Tanpa bermaksud menunjukkan ia ungu yang berarti menggemari janda. 'Biar omelan atasan Kakung musnah.'

Semua yang dalam ruangan tertawa keras.

Indian Ear Candle berbentuk seperti semprong. Dari kertas berlapis lilin minyak lebah. Berukuran satu jengkal, dibakar di bagian ujung atas dengan bagian bawah dimasukkan ke dalam lubang telinga. Api yang berkobar akan mengalirkan asap ke bawah memasuki kuping. Secara serta merta asap menekan kotoran di dalam telinga dan diangkat ke atas. Setelah mencapai batas kertas semprong, api dimatikan dan lihatlah kotoran di gabus di dalam semprong.

Preti, Aila, dan Dhika saling berebut semprong telinga. Mereka sama sama menyukai warna merah jambu.

'Aduh, siapa sih yang beliin ini semprong?' tanya Preti. 'Murah banget. Pinter banget dia nawar.'

'Iya. Kemarin aja aku ke salon liat daftar harga, bersihin kuping dua puluh ribu,' ucap Dhika, yang sangat gemar merawat tubuh. Bagi dirinya, penampilan yang sempurna adalah bekal dia untuk mendaftar Putri Pariwisata Yogyakarta tahun ini. Dan ini akan menjadi bekal paling mantap merangkak naik tahta sebagai Putri Indonesia. Atau, jika judi sedang bagus bagusnya, Dewa berhasil membimbing tangan terampil para penaruh harapan, mahkota Miss World berhasil digondol.

'Mas Dani,' sela Ninid. 'Aku pesan dari dia.'

Aila cuma bengang bengong. Dia salah satu anak yang paling pendiam. Tapi jahilnya minta ampun. Tiap sepuluh menit, selalu ada lengkingan entah dari mulut Preti atau Dhika, kesakitan dicubit oleh Aila.

'Mas Dani siapa Mbak?' tanya penasaran Dhika.

'Teman kerjaku.' Ninid anak sulung menjawab dengan datar. Dhika tampak berpikir, membayangkan siapa gerangan Mas Dani. Yang sangat baik hati melayani, membelikan semprong kuping ajaib.

'Oya. Dia beli semprong ini ke Pasar Beringharjo naik sepeda loh.' tambah Ninid.

'Wah cocok tuh sama Mama.' Aila bergabung.

'Cocok apanya?' Preti bertanya sambil melirik Uti yang memegang semprong milik Kakung. Di sebelahnya ada Nana, putri Ninid, yang menggelendot di punggung Utinya.

'Ti, mau dikenalin nih ke Mas Dani. Ama mbak Nid.' seru Aila.

Uti menengok. 'Sapa kuwi? Siapa itu?'

'Temanku Ti. Teman bojoku, suamiku,' jawab Ninid. 'Dosen juga. Lagi ngambil S2 sekarang.'

'Yang beliin ini semprong semua, Ma.' sambar Preti.

'Kenalin sama Dhika itu.' serang Uti.

'Apa Ma?' Dhika pura pura tidak mendengar.

'Nah kan. Ga dengar. Ini semprong merah jambu buatmu Mbak. Dari Mas Dani. Biar kupingmu bisa dengar lagi.' Sodor Aila ke Dhika.

'Ah kamu. Aku kan sudah punya gacoan.'

'Siapa?' cibir Preti. 'Bejo tukang baso sebelah ya?'

'Ah mbuh. Ndak tahu.' jawab Dhika.

Alangkah kompak keluarga ini. Saling bertik tak, melempar pernyataan saling menjawab. Secara bergantian membantu kaka atau adik membersihkan telinga. Dengan semprong kuping ajaib, kiriman Mas Dani. Dan mas Dani bisa dikatakan jenius. Bagaimana tidak? Membuat seluruh keluarga makin harmonis adalah usaha dirinya, tanpa harus mengatakan.

'Saya calon menantu idaman bagimu, Tante. Om.'

Membentangkan spanduk saat wisuda atau berlari keliling di Bundaran UGM. Tindakan elegan bisa diciptakan oleh seorang Dani, yang multitalenta berbakat dari alam disertai kerja keras yang tak pernah putus.

Sampai pukul 11 malam. Terapi kuping berlangsung sukses. Sisa sisa bebakaran disapu oleh Dhika. Hari ini dia piket bersih bersih rumah. Dia tersenyum senyum, memikirkan bagaimana sosok Dani yang seolah menjadi hero malam ini. Bagi keluarga.

'Oh mas Dani. Aku pengin ketemu kamu!' seru Dhika, keceplosan.

'Suit suit.' suara Aila terdengar dari kamar.

 

Tidak ada komentar