Akademi Lelaki Indonesia Memorot (ALIM)
Kali ini saya mendapat saingan baru. Ya, lelaki tukang porot di depan saya sedang beraksi. Merayu seorang janda tua, yang dari pakaiannya tampak serba mewah. Belum gelang, cincin, dan kalung yang ia kenakan, sangat heboh. Perempuan itu tampak tak sedetikpun melepaskan tatapannya dari lelaki tukang porot di mukanya. Saingan saya.
'Saya turut berduka cita dengan meninggalnya suami Anda, Nyonya.'
Mulai lagi, tangan lelaki porot itu gerayangan mengelus tangan si Nyonya Janda. Kenapa saya terlambat dua menit mendekati perempuan itu? Menyesal rasanya, target diserobot. Coba kalau saya lebih cekatan, pasti sebagian hartanya beralih ke tangan saya.
Yang akan saya katakan lebih elit dan menusuk hati Janda itu.
'Aku bersedia menjadi pengganti suamimu, Bu. Sumpah mati, aku akan membahagiakanmu kembali. Lebih dari suamimu.'
Tidak usah berbasa basi. Terlalu bergaya bangsawan. Langsung tembak.
Memang saya mengakui dari gaya berpakaian lelaki porot itu, saya kalah. Busananya elegan, mencerminkan lelaki mapan yang dewasa dalam berpikir.
Oh, mereka beranjak dari kursi. Meninggalkan setumpuk makanan berkelas yang tidak mereka habiskan.
Sial. Saya harus mencari target baru.
Lupakan si Janda penuh harta itu.
Sepertinya, saya harus terus mengasah kepekaan dan ketajaman insting mengendus personal yang berpotensi menghasilkan pundi pundi harta. Bagi masa depan saya.
Jika bertemu lelaki porot yang tadi di lain kesempatan, saya berani menantang duel di ring Sasana Tinju Chris John. Tunggu saja.
'Saya turut berduka cita dengan meninggalnya suami Anda, Nyonya.'
Mulai lagi, tangan lelaki porot itu gerayangan mengelus tangan si Nyonya Janda. Kenapa saya terlambat dua menit mendekati perempuan itu? Menyesal rasanya, target diserobot. Coba kalau saya lebih cekatan, pasti sebagian hartanya beralih ke tangan saya.
Yang akan saya katakan lebih elit dan menusuk hati Janda itu.
'Aku bersedia menjadi pengganti suamimu, Bu. Sumpah mati, aku akan membahagiakanmu kembali. Lebih dari suamimu.'
Tidak usah berbasa basi. Terlalu bergaya bangsawan. Langsung tembak.
Memang saya mengakui dari gaya berpakaian lelaki porot itu, saya kalah. Busananya elegan, mencerminkan lelaki mapan yang dewasa dalam berpikir.
Oh, mereka beranjak dari kursi. Meninggalkan setumpuk makanan berkelas yang tidak mereka habiskan.
Sial. Saya harus mencari target baru.
Lupakan si Janda penuh harta itu.
Sepertinya, saya harus terus mengasah kepekaan dan ketajaman insting mengendus personal yang berpotensi menghasilkan pundi pundi harta. Bagi masa depan saya.
Jika bertemu lelaki porot yang tadi di lain kesempatan, saya berani menantang duel di ring Sasana Tinju Chris John. Tunggu saja.
Post a Comment