Header Ads

India, Bollywood, Nasionalisme Nusantara, dan Kegemaran Nonton Film yang Mulai Bergeser

Biar saya dikata tak berasa Indonesia. Karena saya mulai menyukai film film Bollywood. Biar saya dikata anak durhaka karena tak mencintai si Ibu Pertiwi. Itu wajar, biar orang berkata ini dan itu, saya mencari diri saya, karena film tanah air banyak yang menawarkan yang saya tak suka. Sedikit yang saya sukai, seperti buatan mas Garin, di pasaran sangat sulit ditemu. Bollywood menjadi alternatif memotret bangsa Nusantara. Hanya salah satu, bukan mutlak.

India memang jauh dari sini. Mengedipkan mata tak menjamin seketika sampai ke Negeri Shah Jahan. Tak pula segera bertemu dengan makam maha indah tempat Si Mumtaz beristirahat dengan tenang ditemani kekasih abadinya, Sang Maharaja Mughal. Bergoyang goyang tak tentu arah di negeri sendiri, saya mencari rujukan bergoyang bermakna dari Negeri Gandhi.

Menanti film film Nusantara yang bermutu. Karena saya sangat yakin, film adalah penunjuk jati diri bangsa. Bagaimana orang orang di situ bertahan menyikapi hidup, merancang mimpi mimpi hebat, dan mewujudkannya dengan sepenuh semangat. Dan film ibarat kartu mati seberapa maju negeri.

India, India, andai saya menjadi salah satu dari industri perfilmanmu, Sekali lagi, lepas dari penilaian kadar kebangsaan. India mulai menyita perhatian saya, merenung tentang bagaimana mencipta cerita dahsyat yang memerangahkan. Tak melulu misteri, lelucon tak bermutu, tangis gombal karna tetes mata.

Jati diri, film, dan future, masa depan jika ingin berbahasa dengan tepat.

Menyambut My Name is Khan.

Tidak ada komentar