Header Ads

Menunggu Hujan Datang


Rindu kami kepada sang hujan. Menanti cemas di balik jendela, kami bercerita tentang seorang pawang hujan yang jatuh miskin. Ia tak mampu lagi bernyanyi, memanggil hujan. Rintik pun tak mampu dirayu olehnya. Cemas, dan putus asa, berhari hari usaha yang dilakukan tak kunjung hadir. Koin koin yang biasa dilempar oleh para derma tak masuk ke dalam mangkuk berwarna perak. Panas melingkup kota, membuat gerah seluruh warga. 

Tak tega hanya melihat, kami ke luar dari rumah. Tak melalui pintu utama, kami melompat dari jendela. Kuatir ayah marah, karena menggangu tidur siangnya. Kami mendekat ke Paman Pawang Hujan.

'Apa kabar, Paman?' Adik mungil saya memulai percakapan. 
Hanya senyum tertahan yang ia tampakkan. Matanya nanar, terkesan tak bernyawa, dengan lusuh baju semakin menunjukkan jika ia menderita. 
'Boleh saya duduk di samping Anda, Pak?' 
Saya mengganti panggilan menjadi Pak, mengetes apakah ia berubah paras. Mengetuk hatinya, dan ternyata sama saja. Ia tetap saja diam.
Apalagi yang harus kami lakukan. 

Panas semakin terik. Daun daun kering berlari ke sana kemari. Terkadang mendekat kami, selanjutnya mereka terus berlari mengikuti angin muson berasa kering. Tak terdengar lagi gemericik air sungai. Mengering, sumur sumur sepi penimba, dan binatang binatang berumah tanah mulai naik ke permukaan. Kami berdua, meninggalkan Paman Pawang Hujan, takut serangga hinggap di gaun yang kami kenakan. 

Mungkin esok Paman Pawang mampu menunjukkan kepada kami, ia berhasil memanggil hujan. Seperti biasa. Seperti keseharian dirinya, yang ceria karena hujan membahasi kota kami. Pasti ada masa itu. Hujan kembali mengguyur keraguan kami, akan haus tenggorok dan jerit bumi. 



Tidak ada komentar