Header Ads

Fachri dan Suzanna

Bandung, 12 April 2008

Namaku Fachri. Pasti kamu sudah akrab dengan aku bukan? Aku sudah membuatmu menangis, membuatmu bahagia, dan mempertanyakan segala yang ada padaku. Ada yang menyamakan karakterku dengan nabi yang tanpa cela, ada yang menyanjungku karena kisahku saat belajar di Mesir memberikan inspirasi banyak orang. Tak lupa pula kan dengan curahan hatiku yang telah difilmkan. Ya, benar sebuah karya fenomenal dan menggugah yang ditonton jutaan remaja, ibu-ibu, bapak-bapak, bahkan dipromosikan oleh orang penting di negeri ini. Tak pelak namaku makin melambung ke ujung langit tertinggi. Di awan biru tubuhku melayang-layang, pikiranku terbuai oleh aneka pujian manis, sementara tubuhku masih berada di tanah becek. Aku menyimpan luka, aku mempunyai cerita lain yang kelak aku ceritakan, aku ungkapkan kepada kamu pembaca dan penikmat karakterku. Fachri bukan orang sempurna, banyak keculasan yang aku lakukan, dan hanya kepadamu “the secret” ini akan aku ungkap. Hingga membuatmu rela apabila air mata yang telah kau seka kembali ke pelupuk matamu. Aku telah lelah dengan gelontoran pujian, dan anehnya kekuranganku, kesalahan ceritaku, buaian cerita fiktifku membuat kalian terpana. Aku sedih dan ingin mengoreksi kesalahan terjahatku. Baiklah, kuatkan hatimu dan maafkan aku bila telah berbohong kepadamu. Aku sekarang ingin jujur kepadamu, Teman.

Fachri sebetulnya bukan nama yang sesuai di KTP atau akta kelahiranku. Nama asliku sangat buruk hingga aku tak sudi menyebutkannya saat berkenalan dengan orang lain. Aku selalu mengucapkan nama samaran, Fachri si Murah Senyum. Mohon kepada pembaca untuk memaafkan kesalahan perdanaku ini, janganlah bersegera untuk meletakkan catatan harian kesalahanku. Aku akan berjanji di sepanjang “pengakuan dosa” ini jujur dan tak menutup-nutupi bahwa aku adalah penjahat kerdil yang anehnya dianggap satu-satunya kebenaran. Lupakan saja, jangan simpan dalam hati. Ibuku orang Jawa, ayahku campuran antara Jawa dan Arab. Jadi tiga perempat darahku Jawa, sementara darah Arab hanya mengalir seperempat saja. Kulit, pembawaan, gaya bicaraku kental nuansa Jawanya, sementara ciri khas Arabku terletak pada hidungku yang berbentuk elang, panjang dan mancung. Oya, ada sesuatu yang sangat kubanggakan. Ups, tak usah berpanjang lebar. Kamu tentu tahu apa yang spesial dari orang Arab. Sudahlah. 
Namaku Bejo Sugiharto, ini sengaja dipilih dan dipaksakan ibu kepada ayahku. Ibu pernah bercerita kepadaku bahwa nama itu adalah wewejah Simbah Kakungku kepada ibu, “Nduk, kalau kamu punya anak laki-laki, berilah nama Bejo. Biar dia selalu beruntung. Juga Sugiharto ditaruh di belakangnya, biar dia nanti jadi orang kaya. Bejo Sugiharto.” Sebenarnya ibu merasa malu memberikan nama Bejo buat anak sulungnya. Ini karena tren nama bayi kala itu sedang demam nama barat; Ronald, Frederick, Michael. Tapi karena ini permintaan almarhum Simbah, ibu tidak bisa menolaknya. 
“Ibu sebenarnya dulu telah mempersiapkan nama George. Tapi ibu takut Simbah di alam sana tidak tenang. Ayahmu sempat menolak mentah-mentah nama Bejo, tapi ibu membujuknya dengan berdalih kita harus meneruskan jati diri kita sebagai orang Jawa. Akhirnya ayahmu menyetujuinya.” Aku teringat cerita ibu saat mengobati borok di kepalaku. Aku memang nakal, sering membolos, tak pernah jinak jika di rumah, dan jarang keramas. Akibatnya kepalaku tak terurus dan dihuni oleh kutu rambut. Tapi tak apalah, aku merasa kutu itu sahabatku. 
“Tapi teman-temanku sering mengejek namaku seperti nama burung, Bu.” Aku mengaku sembari mempermainkan bola sepak di tanganku. 
“Bilang saja, nama ini pemberian simbah dan mempunyai arti yang bagus.” Saran Ibu. 
“Ibu tidak mengerti aku, sih. Kalau ibu tidak mengganti namaku, aku nggak mau sekolah lagi. Biar aku ikut ayah jualan kain di Pasar!” ancamku.
“Itu tidak baik, Nak. Bukankah itu pendapat temanmu saja. Kalau kita baik sama mereka, tak terlalu memasukkan ucapan mereka dalam hati, mereka akan diam.” Nasehat ibuku.
“Pokoknya harus ganti!” aku makin keras kepala. 
Karena kesal, aku lemparkan bola di tanganku hingga mengenai mainan mobil-mobilan koleksiku yang dibelikan ayah. Mainan-mainan itu berantakan. Ibu masih saja meneteskan cairan pembasmi kutu rambut sambil memijit-mijit kepalaku. Sebetulnya aku menikmati pijatan Ibu, aku merasa ada aliran kasih sayang yang dialirkan ibu melalui ujung-ujung jarinya. Tapi saat itu amarah telah mengisi otak kecilku. Hatiku meronta agar nama desaku diganti dengan nama barat seperti teman-temanku yang lain.
Tiba-tiba kepalaku bergeser ke kanan, mataku tertumbuk sebuah surat kabar yang tergeletak di meja tamu. Surat kabar itu masih rapi dan belum dibuka sejak diberikan oleh si pengantarnya. Ibu dan aku memang tidak suka membaca. Hanya ayah yang suka membaca buku. Aku sangat kagum dengan ayah karena pengetahuannya sangat luas. Aku sangat suka cerita-cerita yang dibacakan ayah saat aku akan tidur. Ayah pernah membacakan cerita “Petualangan Seru di Negeri Seribu Satu Malam” dan “Dongeng Piramida” hingga aku tak hapal semua tokoh di dalamnya. Aku jadi mempunyai keinginan kuat suatu hari nanti akan membuktikan secara nyata dengan pergi ke kota-kota itu. Ke Baghdad atau Kairo. Irak atau Mesir.
Surat kabar itu memampang sebuah berita utama yang sedang hangat dibicarakan orang-orang dewasa: Fachri si Koruptor telah Tertangkap. Aku belum begitu paham apa arti koruptor, aku menduga bahwa nama itu seperti bagian kendaraan ayah. Ayah pernah mengucapkan “karburator”, tapi apakah koruptor sama dengan karburator motor bebek ayah? Aku tertarik dengan nama Fachri.
“Bu, aku pengin nama Fachri!” teriakku. Ibu sudah selesai mengobati borok kepalaku. Sambil meletakkan botol cairan itu, ibu menjawab pernyataanku.
“Baiklah. Nanti ibu bicarakan sama ayahmu. Ibu akan kasih tahu keputusannya besok pagi.” 
Tak lama kemudian bunyi motor bebek merah ayah mendekati rumah. Kami sudah sangat mengenal suara khas motor kesayangan ayah dengan asap motor yang mengepul-ngepul. Kali ini ayah tidak lagi mengenakan helm bathok, aku lihat ayah mengenakan helm baru.
“Ayah, helm siapa yang Ayah pakai?” tanyaku.
“Ayah baru saja beli di bengkel. Tadi ayah mau beli karburator. Kemari beli tapi sudah rusak kembali. Apa mungkin ayah beli yang bukan asli, ya?” keluh ayah.
“Karburator lagi ... karburator lagi.” Aku mulai jenuh mendengar kata itu. “Tapi tunggu dulu Yah ...,”
“Ada apa, Jo?”
“Namaku bukan Bejo lagi, Yah. Namaku Fachri. Keren kan, Yah?”
“Hah, siapa yang mengganti namamu?”
“Aku sendiri, Yah.”
“Sudahlah jangan becanda. Ayah mau mandi dulu. Capek kerja seharian.”
“Yah ... Ayah nggak percaya! Tanya ibu saja deh.” 
Ayah segera memarkir motornya, menarik bagian pantat motor itu, mengangkatnya sedikit hingga standar motor terpasang sempurna. Dia kemudian masuk ke kamar dan keluar lagi sambil membawa baju bersih dengan handuk di lehernya. 

Seperti biasa, setiap azan maghrib hatiku tak tenang. Teriakan ibu yang menyuruhku untuk segera berangkat ke masjid membuatku semakin bertanya-tanya apakah ada kegiatan menarik lain yang membuatku kerasan. Mengaji, kegiatan yang membuatku enggan untuk melaksanakannya. Aku sudah membayangkan bertemu dengan guru mengaji yang seram, bersorban, dan janggutnya yang panjang dan putih. Dia tak segan untuk memukul kayu-ajarnya kepada murid-muridnya yang dianggap nakal. Aku dan teman-temanku berjumlah sepuluh, nakal dan badung semua, hingga membuat guru mengajiku memutar otak untuk sekadar mengenalkan huruf-huruf hijaiyah yang memang jarang digunakan dalam ucapan mau tulisan. Kami, anak-anak kecil yang berada di tengah lautan buku, film, dan televisi yang berisi huruf latin, menganggap huruf-huruf hijaiyah sebagai menu tambahan yang tak perlu kami perhatikan secara serius. 
Pak Musliman, aku membayangkan dia sedang berada di serambi masjid di dekat sekolah Muhammadiyah, berkacak pinggang, dan melontarkan senyum dinginnya. Aku berjalan menuju masjid dengan perasaan yang kalut, aku tak tahu berapa temanku yang datang mengaji. Apakah mereka merasakan ketakutan yang sama denganku terhadap sosok pak Musliman? Berangkatkah mereka ini hari? Jika aku sendiri yang belajar mengaji dengan pak Musliman apa yang harus kulakukan? Perasaan itu bercampur dan menggumpal di kepalaku. Seharian penuh aku diberikan asupan pelajaran yang sungguh aku bosan melihat dan mendengarnya. Matematika yang menyebalkan, pengenalan bahasa yang membosankan, dan aneka pelajaran yang tak pernah membuatku tertarik. Yang membuat aku dan teman-teman sekolah mau berangkat hanyalah waktu istirahat saja. Kami lebih menikmati waktu ketika kami bisa bermain bersama dan bersendau gurau. Kami tidak merindukan sama sekali pelajaran di sekolah pagi. Aku tak tahu juga apakah guru di sekolah sama angkernya dengan pak Musliman. Tapi yang jelas dalam pikiran kami, guru kami tidak memahami hati kecil kami. Kami merasa disuguhi saja hidangan pelajaran, disuruh mengunyah sebanyak 32 kali, dan menelannya bersama keterpaksaan. Kami sebetulnya menginginkan pelajaran yang diberikan kami rasakan terlebih dahulu, kami pegang dan rasakan kehalusannya, mencium bau sedapnya, hingga kami menyadari keindahan di dalamnya. 
Bayangan guru di sekolah dan pak Musliman di masjid bercampur hingga aku kini telah berada di depan masjid. Ternyata teman-teman mengajiku datang hampir bersamaan denganku. Kami mendekati tubuh pak Musliman yang menguarkan bau minyak Arab. Pernah kami menanyakan mengapa harus memakai parfum yang membuat hidung kami gatal, dan pak Musliman menjawab bahwa hal ini salah satu bentuk kebersihan dan penghargaan terhadap tubuh yang merupakan anugerah Allah. Kami belum tahu apa-apa tentang bagaimana merawat tubuh kami, yang ada kami menyerahkan sepenuhnya kepada ibu-ibu kami. Sepulang kami bermain bola dengan lumpur yang memenuhi tubuh kami, berpanas-panasan di tengah teriknya hari, juga bermain air sungai hingga pakaian kami basah kuyup, kami seakan menyuruh ibu untuk membersihkannya. Kami belum mengenal kemandirian dalam jiwa kami. Tapi beberapa tahun ke depan kami akan merasa bahwa masa kecil kami dengan sendau gurau yang kadang berlebihan, sebetulnya perlu koreksi dan perbaikan. Dan kami selayaknya mencoba belajar tentang pentingnya menghargai barang-barang pribadi, juga kebaikan seorang ibu yang sering kali kami acuhkan. 
“Assalamualaikum, Pak Haji.” Ucap Lintang memberi salam sembari mencium punggung tangan pak Musliman. Dia salah satu murid perempuan di kelas mengaji. Wajahnya bulat, giginya sedikit keluar, dengan mata sipit. Dia pernah berkata kepadaku bahwa 









7 komentar: