Header Ads

Gara gara Krisis Global, Rambut Keriting Anakku Berubah Lurus

     Gara gara krisis finansial global, tiba tiba rambut anakku tidak keriting lagi. Bapaknya, diriku, yang terkena PHK besar-besaran, sebenarnya tidak terlalu memusingkan kondisi ekonomi dunia yang tengah gonjang ganjing. Santai aku menyikapinya. Toh ada peluang lain yang bisa aku lakukan; membuka bisnis makanan, menjadi makelar sapi, atau apa saja yang menghasilkan uang. Anehnya, anakku yang seakan merasakan dampak krisis. Setengah mati aku berpikir, kenapa rambutnya berubah.
   
Istriku orang Flores, aku Jawa murni. Dua budaya kami jalani bersama. Kami saling memuji model rambut asli ciptaan Tuhan. Dia keriting, aku lurus. Jari telunjukku sering mempermainkan rambut kekasihku. DIa membelai manja rambutku. Persahabatan yang mulia. Tak pernah kami menganggap pernikahan ini sebagai ikatan yang kaku. Kami memperlakukan cinta layaknya persahabatan, lebih ringan dibanding harus bersungut-sungut memanggil 'ayah bunda'. Fleksibilitas layaknya operator seluler yang seenaknya mengganti tarif telepon pelanggan. Keluarga keriting melawan lurus, kami sering mencandakannya.
   
Lepas dari waktu terakhirku mengantor, aku dengan perwira balik ke rumah. Belum aku ceritakan kejadian ini. Pelan-pelan aku beritahu istriku di waktu tidur nanti. Senyum terus kuulas, hati kutata mempersiapkan kalimat yang tepat agar dia tidak kaget. Semua harus diterima dengan hati lapang. Kondisi ekonomi dunia memang sedang sekarat. Apakah kita harus mengikuti dengan mengumpat dan mempersalahkan orang lain? Perusahaan? Jangan sampai aku terjebak dengan carut marut ini. Dan aku tak berharap istriku syok karena tahu suaminya tak bekerja kantoran lagi.
    "Ayah, anakmu sakit panas. Tinggi sekali, Yah. Kita ke dokter sekarang," ucap panik istriku dari dalam rumah. Sambutan itu membuat jantungku berdegup kencang.  Aku ikut panik.
    "Dia di mana sekarang, Bun?"
    "Di kamar, Yah. Mengigau terus terusan."
    Oh Tuhan, ujian apalagi yang kau berikan kepada keluarga kami. Bayangan anakku yang merintih kesakitan sudah jelas di otakku.
    "Yah sebaiknya kita segera ke dokter. Cepat, Yah."
    Istriku semakin panik. Aku mencoba menenangkannya dengan menyentuh rambutnya. Jika aku sudah mengusapnya, dia kembali tenang.
    "Bun, ini sudah malam. Jam sembilan malam. Kita ambil obat penurun panas di kotak sana," tunjukku ke kotak P3K di dekat lemari es. "Besok kita  bawa ke dokter."
    "Yah, kalau ada apa apa bagaimana?"
    "Tenang, Bun. Semua masalah bisa kita atasi. Tapi tolong jangan panik."
    Tak biasanya aku pulang malam. Aku sebelumnya sudah izin dengan alasan ada pekerjaan kantor yang harus aku selesaikan. Sempat terlintas di benakku, apakah ini akibat aku berbohon kepada istriku. Sudahlah, pikiran keruh tidak akan menyelesaikan permasalahan.
    Kuambil sirup penurun panas dari tangan istriku. Aku meminumkannya ke anakku sembari berdoa dalam hati agar sakitnya segera disembuhkan. Wajah anakku tampak pucat, dia hanya bisa berucap 'ayah, ayah'.
    Seketika anakku tidur pulas. Aku dan istriku lega.

Keesokan paginya, istriku kembali berteriak.
    "Yah, rambut anakmu berubah. Tidak keriting lagi!"
   
   
   

6 komentar:


  1. Ah, paling tidak terlepas beban dari salah satu pos pengeluaran: biaya meluruskan rambut. Jangan ngeyel, belum ada sejarahnya orang keriting membintangi iklan sampo.

    BalasHapus
  2. Ga di iklan sampo, tapi mie kriting. Tuhan Maha Adil. Tak rezeki di sini, di lain tempat meruah.

    BalasHapus

  3. Ah, benar, benar. Karenanya, seharusnya kau bisa lebih optimis jalani hidup, kan? Hentikan rengekanmu! Bikin sakit kupingku saja.

    BalasHapus
  4. Aku ga merengek. Tapi merangsek. Kaya serdadu AS di Irak ae

    BalasHapus
  5. Belum. Nunggu komandannya selesai berak. Sip nya, ia nongkrong di kakus Vietkong smbil denger musik via iPod.

    BalasHapus