Header Ads

2009: Kehancuran Bangsa Rindunesia (Demokrasi Tumpul)

    Tahun depan, tahun paling riskan bagi negeri Rindunesia. Manusia-manusia yang telah dikarbit di dalam tempayan emas muncul ke permukaan. Menampilkan sosok diri yang sudah gemilang, ilmu telah tersemat di bahu mereka, dan senyum terbaik terulas merekah. Ajaran sang kyai politik berhasil mereka adopsi, seratus persen. Bahkan saat hari pasaran tertentu, tingkat kepercayaannya melingkupi seluruh tubuh pengarah mereka.
    Demokrasi paling maju di seantero dunia fana. Mengalahkan India yang gudangnya joged, Amerika Serikat yang gemar mempraktikkan game video perang, juga negeri-negeri lain. 2009, dua televisi swasta saling berebut simpati pemirsa sebagai televisi pemilu raya. Masyarakat haru biru menikmati alam kebebasan ini.  
    Kekasih di ujung kota menanti cemas.  
    Pemuda legit dalam setiap ucapan menawarkan program-program andalan di pasar-pasar sesak pembeli.  
    Pemimpin negeri sibuk pula melakukan tarian keliling nusantara menunjukkan keberhasilan yang telah dilakukan. Musuh politik merancang suksesi yang akan digedor di saat yang tepat. Semarak, ramai, dalam pemberitaan dan hasil diskusi.  
    Suporter sepakbola menggila. Wasit dipukul karena tak adil.  
    Teroris masih membutuhkan keputusan untuk segera menggantung mereka. Hukum diolor-olor, hingga molor. Tidur nyenyak menikmati film yang lagi panas.  
    Tak berbeda jauh. Dulu acara Rindunesia Idol dia bertepuk tangan di belantara para remaja histeris. Sekarang lima tahun sesudahnya mengulang kelakuan yang sama. Presiden Rindunesia paling tidak kreatif sepanjang zaman.  
    "Film ini sangat menarik. Sangat menggugah rasa kemanusiaan ...." tak tega untuk meneruskan kutipan yang basi itu. Konferensi pers dilakukan agar didaulat sebuah kepercayaan bahwa sang presiden pro terhadap budaya tanah air. Terlambat, ini sudah akhir jabatan. Tapi masih bisa diteruskan, jika strategi ulangan ini lengah oleh masyarakat.  
    Para budayawan tidur. Mereka sedang mengetik karya yang akan menyaingi novel paling powerful yang sudah difilmkan. Tak kuasa mengejar target hingga rekor Museum Rindunesia berganti kepadanya.  
    Masyarakat menikmati permainan ini. Campur aduk bak semangkuk es buah yang enak dalam rasa. Demokrasi yang ideal di mata komplotan politik yang menghamba kekuasaaan.  
    Mari kita berdoa, dipimpin oleh para kyai alim, semoga negeri ini menerapkan demokrasi secara sahih. Dan segala pergulatan bangsa untuk ke luar dari aneka masalah, cita-cita menjadi bangsa besar menjadi kenyataan.  
    Anak-anak berceloteh tak tentu arah. 

Tidak ada komentar