Header Ads

Saritem in Wonderland (Bukan si Alice)

Aku mengambil jeda untuk beristirahat, mengambil napas agar semangatku timbul kembali. Lintasan yang kulalui diluar dugaan aku dan pelatihku. Rute yang diberikan oleh panitia ternyata tidak sesuai dengan kenyataaan. Ada semacam konspirasi jahat sehingga atlet tuan rumah memenangkan kompetisi.

            Entah jalan apa yang kini kulalui. Hanya aku seorang diri, tak ada peserta lain. Aku terjebak di sebuah persimpangan. Sebuah penunjuk arah berada di depanku. Lurus, mencapai Jalan Surga; kanan, menuju Sungai Olak; kiri, mengarah Laut Mati; dan sisanya jalan yang telah kutempuh tadi. Tak ada peta yang kupegang, aku diam sembari menyeka keringat yang menetes deras.

            Anak kecil berkacamata besar dan tebal menghampiriku. Rambutnya merah, kuncir kuda dengan pita berwarna putih mempercantik dirinya. Dia tersenyum padaku, giginya berkawat warna merah. Jejeran gigi putihnya yang tidak rapi tampak berkilauan. Merah dan putih, kadang samar kadang jelas.

            “Anda hendak ke mana, Tuan?” dia bertanya kepadaku. Nada suaranya sopan dan tertata rapi.

            “Aku? Aku tidak tahu akan ke mana,” jawabku gugup. “siapa kamu?”

            “Saya pemimpin tempat ini.” Dia menjawab mantap.

            Aku bingung, tak percaya dengan omongan gadis kecil. Keyakinanku, seorang pemimpin adalah orang dewasa. Bukan anak kecil yang biasanya masih harus diantar ayah ibunya pergi ke kamar kecil.

            “Mengapa Anda terdiam, Tuan?”

            “Oh, tidak. Aku hanya berpikir sebentar. Mencari jalan menuju stadion olahraga tempat aku akan dikalungi medali.”

            “Bukankah Anda sudah mempunyai medali?” gadis itu bertanya sesuatu yang tak aku percayai. Sangat tidak masuk akal. Seumur hidupku, aku belum satu pun memenangkan pertandingan.

            “Itu, Tuan. Di leher Anda ada kalungan medali.” Telunjuknya mengarah kepadaku. Aku kelabakan antara percaya dan tidak, kuperiksa apakah benar ucapan gadis itu.

            Mustahil, medali yang sebelumnya tidak ada mendadak muncul tanpa sepengetahuanku. Mataku terbelalak, mulutku nyaris bulat tanda tak percaya. Apakah gadis kecil itu seorang penyihir yang mampu menyulap ucapannya menjadi sebuah benda? Atau, memang aku sudah memenangkan lomba lari ini, menerima pengalungan medali, tapi aku lari kembali. Sampai di tempat aneh seperti ini. Bertemu dengan gadis kecil penyihir.

            “Kenapa bisa aku mengalungi medali ini? Pasti kamu menggunakan sihir. Kau pasti ingin memperalatku, Gadis kecil.”

            “Tidak, Tuan. Bagaimana saya bisa berbuat curang pada Anda. Saya baru mengenal Tuan. Mana mungkin saya ceroboh terhadap seorang tamu?”

            Angin berembus kencang. Daun-daun berputar dan melayang ke udara. Debu-debu mengamuk dan menerobos kelopak mata. Aku menunduk seiring kilat yang menyambar-nyambar. Bumi bergerak-gerak, bergoyang-goyang, dan membelah. Jika dalam hitungan detik aku tak menyadari, dijamin aku sudah terperosok dan menemui kematianku. Aku telah berada di tempat yang aman, berpegangan sebatang bambu yang masih meliuk-liuk diterpa angin badai.

            Dunia serasa gelap, pekat dengan awan yang menggumpal seperti wajah seseorang yang kusut akibat tekanan masalah. Ternyata, mataku kembali melakukan kesalahan. Bukan mendung kelam yang terjadi, tapi ada semacam yang menghalangi pancaran mentari. Sesosok manusia besar, super besar, tingginya seperti bangunan pencakar langit.

            “Anda sedang apa Tuan? Masih bingung dengan kalungan medali tadi?”

            Tak kusangka, gadis kecil yang tadi kuremehkan kini menjadi raksasa. Aku kaget dan semakin tak percaya. Macam apakah tempat ini? Kejadian ganjil berturut-turut datang dan membuat jantungku berpacu sangat cepat.

            “Mmm ... tidak. Siapa kamu?” aku berpura-pura bertanya, sebetulnya kuyakin raksasa itu sang gadis kecil. Tapi, hanya ucapan itu yang bisa kuucapkan. Tak ada yang lain.

            “Tak usah khawatir Tuan. Saya tidak akan mengganggu Anda. Apakah Tuan melihat saya menjadi lebih besar? Menjadi raksasa?”

            “Ya, aku rasa seperti itu.” Jawabku parau.

            “Coba letakkan kacamatamu.” Dia memerintahkanku. Agak canggung, seumur hidup aku tak melepaskan alat bantu penglihatanku ini. Ketakutan akan tak bisa berjalan selalu menghantuiku.

            “Mengapa harus ragu Tuan? Saya anak kecil, tak pernah berburuk sangka terhadap orang dewasa. Lepaskan kacamata Anda dan lihatlah apakah saya sesuai dengan pikiran Tuan.”

            Gadis yang aneh. Tampaknya dia mempermainkanku. Semakin lama semakin menjengkelkan.

            “Tak usah jengkel Tuan. Jika Anda tak sudi melepasnya, jangan lakukan. Anak kecil tak boleh memerintah orang dewasa.” Tak ada tertawa, tak pula pandangan sinis, dia baik-baik saja dan terkesan tanpa prasangka.

            Seolah tersihir, aku meletakkan kacamata di atas bebatuan hitam. Rasa takut jika kacamata pecah diduduki orang lain, lupa tempat karena hilang ingatan di mana letaknya, lepas semua meninggalkan hatiku.

            Dia menghilang, tak ada di hadapanku. Bumi yang merekah juga telah menutup. Kicau burung terdengar lembut di daun telingaku. Langit di atasku masih ceria dengan biru putih yang menghias.

            Kacamataku, apakah dia menjadi penghalang aku memandang hidup sesungguhnya. Kacamataku, apakah dia yang menyebabkan gadis kecil raksasa tadi lenyap seketika?

            Waktu yang terhenti beberapa detik itu usai. Kakiku melangkah memasuki stadion olahraga terbesar di kota ini. Gemuruh tepuk tangan, teriakan, dan semangat dari penonton membangkitkanku kembali. Nyawaku yang hilang beberapa detik kini telah kembali ke dunia nyata. Pesta perburuan medali di cabang atletik.

            Sekilas kulihat gadis kecil berambut merah dengan gigi yang berkawat. Sepertinya dia berada di antara para penonton yang menyorakiku. Tapi dia kembali menghilang. Aku mempercepat kayuhan kaki, ada sisa waktu beberapa detik untuk memecahkan rekor dunia. Satu putaran lagi.

 

 

Tidak ada komentar