Header Ads

Presiden Rindunesia Menjemput Maut karena Rokok

Kupungut puntung rokok. Tembakau berceceran di mana-mana. Baunya menusuk hidungku. Aku sedari kecil tak menyukai barang yang bernama rokok. Tak peduli aku dikatakan lelaki pecundang. Namun setidaknya aku mempunyai pilihan daripada menjadi bayang-bayang. Bersembunyi di balik asap rokok yang dikesankan sebagai simbol kejantanan. Menjadi manusia tidak selamanya harus mengikuti gaya hidup orang lain.

            Aku menjadi pengasuh lelaki rapuh yang tengah berjuang melawan maut. Lelaki tengah baya yang kutemani menjemput kematiannya. Aku sebatas menjadi perawatnya, yang disuruh mengambil makanan ini-itu dan berlari-lari diiringi suruhannya. Aku menemani lelaki sekarat yang usianya sebentar lagi. Mati karena keropos paru-parunya. Akibat berselingkuh dengan puntung-puntung rokok.

            Kadang aku bertanya, akankah hidupku kelak melayang bersama jasad lelaki yang kuasuh? Sakit paru-paru itu mungkinkah telah menulariku? Pertanyaan-pertanyaan itu terus memenuhi batang otakku. Kadang menekannya hingga aku tak mampu sekadar berpikir. Namun, aku kembali sadar bahwa inilah tugas hidupku. Merawat seorang kepala negara yang segera dikenang sebagai ‘Almarhum Presiden’.

            Sering kali kumelihat lelaki itu menahan sakit di dadanya. Setiap mengucapkan kalimat-kalimat wejangan di depan menteri-menterinya, urat-urat wajahnya menonjol. Ada perasaan menekan dalam dirinya. Terbatuk-batuk dan meminta waktu rapat dihentikan. Para pembantunya memaklumi keadaan sang presiden. Dan aku lihat wajah para menteri tak sepenuhnya merasa berduka.

            Keadaan bangsa ini terus menggerogoti kesehatan sang presiden. Lelaki yang kuasuh. Dia sering berkeluh kesah kepadaku betapa susahnya mengatur bangsa ini. Satu soal selesai akan diikuti berjuta tugas yang harus diatasi. Aku memahaminya, sepaham diriku menyadari tugas beratku menjaga kesehatan sang presiden.

            Pemimpin bangsa itu terlihat lelah. Dan rokok-rokok jahanamlah yang menjadi pelampiasannya. Tak sadar jika kesukaannya itu menjadi bumerang bagi kesehatannya. Tinggal menunggu waktu saja karena paru-paru yang sudah di ujung tanduk. Aku merelakan diriku menemaninya. Karena siapa lagi yang memedulikannya? Istrinya sudah lama kabur mengikuti pacar barunya. Entah setan apa yang mengisi hati ibu negara sampai tega meninggalkan suaminya. Hanya karena dia tidak menyukai asap rokok yang membuat kecut gaun-gaunnya. Aku menemani suami ibu negara yang kacau.

            (bersambung)

 

Tidak ada komentar